Ahad 21 Feb 2016 16:10 WIB

WALHI: Kebijakan Plastik Berbayar tidak Produktif

Rep: Qommarria Rostanti/ Red: Indira Rezkisari
Kantong plastik.
Foto: Flickr.com
Kantong plastik.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebijakan pemerintah berupa kantong plastik berbayar dinilai tidak produktif. Dalam kebijakan yang baru diujicoba hari ini, konsumen dikenakan biaya dari kantong plastik yang digunakan.

Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sumatra Selatan (Sumsel) melihat ada beberapa hal yang menjadi persoalan dari kebijakan ini. Pertama, kebijakan ini tidak mengurangi kantong plastik, hanya berpotensi mengurangi peredaran di masyarakat. Kedua, kebijakan ini menyasar masyarakat kota. "Pertanyaanya adalah dengan nilai kantong plastik Rp 200 apakah masyarakat kota yang notabene kalangan menengah ke atas tidak rela membayar kantong tersebut?," ujar Direktur Eksekutif WALHI Sumsel Hadi Jatmiko, Ahad (21/2).

Ketiga, hasil pembelian dari kantong plastik tersebut akan masuk ke dalam kegiatan CSR. Dana tersebut akan dikelola oleh peritel. Solusi ini tidak akan menyelesaian masalah, kata dia, karena tidak menyentuh persoalan mendasar.

WALHI Sumsel menilai kebijakan kantong plastik berbayar jangan sampai menjadi modus pengalihan tanggung jawab perusahaan kepada konsumen. Menurut Hadi, solusi jangka pendek yang tepat adalah barter sampah plastik yang ada dan beredar di masyarakat dengan kantong kemasan dari ritel, pusat perbelanjaan dan produsen yang ramah lingkungan hidup, bukan dengan kantong plastik. Sampah plastik yang ditukar atau dibarter tersebut harus dikelola oleh peritel dan perusahaan yang menggunakan kemasan plastik.

Negara dan masyarakat selalu menjadi pihak yang direpotkan oleh masalah ini. Padahal itu menjadi tanggung jawab yang seharusnya dibebankan kepada peritel dan perusahaan-perusahaan yang menggunakan kemasan plastik. Jika ini merupakan kebijakan jangka pendek, kebijakan yang cukup tepat adalah kantong plastik tersebut sebaiknya di tukar dengan sampah plastik. Akan tetapi syaratnya kantong kemasan tersebut harus produk yang ramah lingkungan, bukan lagi menggunakan plastik.

"Dengan demikian, sampah plastik yang ditukar atau dibarter tersebut peritel dan perusahaan yang menggunakan kemasan harus mengelola sampah yang diciptakan olehnya sendiri. Solusi ini tentunya jauh lebih mendidik masyarakat dan sekaligus menjalankan tata kelola persampahan di Indonesia," kata Hadi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement