Sabtu 13 Feb 2016 14:27 WIB

'Revisi UU KPK tak Sesuai Kebutuhan Pemberantasan Korupsi di Indonesia'

Rep: Wisnu Aji Prasetyo/ Red: Dwi Murdaningsih
KPK
Foto: Republika
KPK

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menilai draf revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dibahas di DPR tak sesuai konteks kebutuhan pemberantasan korupsi di Indonesia.

Ada empat poin usulan dalam revisi UU tersebut, di antaranya soal wewenang SP3, dibentuknya dewan pengawas KPK, penyadapan harus melalui izin dewan pengawas, serta memperbolehkan merekrut penyidik dan penyelidik independen. Ia pun menyarankan agar draf tersebut dikaji ulang.

Bivitri juga menyarankan agar pengkajian ulang tersebut harus melibatkan berbagai elemen masyarakat agar diperoleh hasil yang komprehensif.

"Kok tiba-tiba naik ke Prolegnas (Program Legislasi Nasional) dan tiba-tiba muncul draft yang jauh dari diskusi yang selama ini. Banyak diskusi terbuka mengarah ke hal-hal yang cukup baik, tapi yang muncul saat ini out of the blue, tidak nyambung dengan konteks pada saat ini," kata Bivitri dalam diskusi "Ada Apa Lagi KPK" di Jakarta Pusat, Sabtu (13/2).

Hal senada juga disampaikan oleh praktisi hukum,  Refly Harun. Refly mengaku tak setuju dengan poin dalam revisi UU tersebut. Refly pun mengkritik indikator yang mendorong UU ini harus direvisi.

"Saya kira kalau mengubah UU mesti ada indikator, salah satunya penting dan mendesak, kalau memang ada masalah konstitusional," ujar Refly.

Refly menambahkan, dibandingkan penegak hukum lain, KPK lebih unggul. Salah satu indikatornya, kata dia, KPK bisa menciduk koruptor yang selama ini dianggap tak tersentuh hukum.

"Saya hanya ingin menunjukkan KPK efektif, lebih efektif dari penegak hukum yang lain. Mereka mampu menangkap yang tidak bisa tersentuh," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement