REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah tokoh hukum memberikan dukungan kepada KPK terkait rencana revisi UU No 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
"Kami tadi datang untuk menyampaikan dukungan soal revisi UU KPK karena KPK merupakan anak kandung dari reformasi yang menjadi tumpuan kita sebagai masyarakat. KPK tidak boleh sedikit pun melemah dan kami banyak melihat upaya pelemahan setiap tahun dilakukan oleh banyak pihak," kata pegiat antikorupsi Todung Mulya Lubis di gedung KPK Jakarta, Selasa (9/2).
Menurut Todung, karena indeks persepsi korupsi Indonesia masih rendah, maka revisi UU KPK bahkan tidak perlu dibicarakan. Todung menambahkan Presiden Jokowi dapat menyatakan ketidaksetujuannya kepada revisi UU KPK dengan tidak ikut berpartisipasi dalam pembahasan revisi UU KPK.
"Saya sih tidak mengatakan bahwa perlu ada revisi UU KPK dalam konteks korupsi masih sistemik, endemik, dan merajalela. DPR kan tugasnya membuat legislasi untuk melakukan perubahan, tapi DPR tidak bisa bermain-main dalam konteks pemberantasan korupsi. Ini kan komitmen reformasi juga komitmen kita sebagai bangsa. Tidak boleh DPR sama sekali menggunakan haknya untuk melemahkan KPK," tegas Todung.
Sedangkan pakar hukum Tata Negara Refly Harun mengatakan bahwa KPK harus terus didukung sebagai lembaga. "KPK sebagai lembaga yang secara moril terus didukung karena merupakan lembaga, yang kita harapkan mampu berantas korupsi," kata Refly.
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Saldi Isra yang ikut memberikan dukungan juga menegaskan bahwa saat ini bukan waktu yang tepat untuk merevisi UU KPK.
"Ini bukan waktu yg tepat merevisi UU KPK, kenapa? Karena sentimen di DPR negatif sekali. Jadi walaupun mereka mengatakan merevisi itu untuk menguatkan, buktinya mana yang menguatkan?" kata Saldi. Saldi pun mendorong agar Presiden Joko Widodo segera mengambil sikap terhadap revisi UU KPK ini.