Senin 11 Jan 2016 06:45 WIB

Sistem Dinilai Buat Hak Prerogratif Presiden Bias

Rep: Qommarria Rostanti/ Red: Ilham
 Presiden Jokowi menyambut fajar perdana 2016 di dermaga Waiwo, Raja Ampat, Papua Barat, Jumat (1/1).  (Tim Komunikasi Presiden/Agus Suparto)
Foto: Tim Komunikasi Presiden/Agus Suparto
Presiden Jokowi menyambut fajar perdana 2016 di dermaga Waiwo, Raja Ampat, Papua Barat, Jumat (1/1). (Tim Komunikasi Presiden/Agus Suparto)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Republik Indonesia masih menggunakan sistem presidensial tidak murni. Ini menyebabkan setiap langkah presiden dalam menjalankan berbagai kebijakan pemerintahan menimbulkan kegaduhan, termasuk dalam soal reshuffle.

Meskipun hak prerogratif itu melekat pada presiden, faktanya kecemasan dukungan politik dari parlemen selalu menjadi variabel utama dalam menyusun dan merombak kabinet. "Hak prerogratif itu tersandera oleh sistem ketatanegaraan," kata Ketua Setara Institute Hendardi, Ahad, kemarin.

Kondisi ini bisa dilihat pada perubahan istilah Koalisi Indonesia Hebat (KIH) menjadi Parpol-Parpol Pendukung Pemerintah (P4). Menurut dia, P4 telah mengafirmasi bahwa hak prerogratif dan kewenangan Presiden yang melekat dalam sistem presidensial menjadi bias dan tereduksi.

Apalagi menyimak PPP, PAN, PKS, dan terakhir Golkar, yang kemudian berencana mendukung pemerintah. Buruknya, dukungan itu bukan tanpa syarat, tapi dibarengi tawar menawar jabatan. Inilah yang membuat prosentase pengabdian partai-partai pada kepentingan partai jauh melampaui kepentingan mengabdi pada rakyat.

"Jokowi dengan tingkat dukungan publik yang cukup tinggi, semestinya bisa mengabaikan setiap tawaran dukungan politik yang menuntut balas budi yang melukai rakyat," kata Hendardi.

Menurut dia, Jokowi tidak perlu cemas dengan dukungan parlemen karena rasionalitas politik dan kebijakan yang berpihak pada rakayat bisa mengalahkan kekuatan oligarki yang bercokol pada partai-partai politik. Basis argumentasi perombakan kabinet adalah kinerja, integritas, dan kepemimpinan. Siapa pun menteri yang lemah pada tiga variabel utama itu, kata Hendardi, maka layak diganti.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement