Senin 21 Dec 2015 12:27 WIB

Rieke: Pernyataan JK Soal Rekomendasi Pansus Pelindo Aneh

Rep: Agus Raharjo/ Red: Bilal Ramadhan
Anggota DPR fraksi PDI Perjuangan Rieke Diah Pitaloka
Foto: Antara/Hafidz Mubarak A
Anggota DPR fraksi PDI Perjuangan Rieke Diah Pitaloka

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ketua pansus angket Pelindo II, Rieke Diah Pitaloka menilai pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla aneh dengan menganggap rekomendasi Pansus Angket Pelindo II DPR hanya ‘saran politik'. Artinya, hasil rekomendasi yang dikeluarkan DPR ini tidak wajib untuk ditindaklanjuti.

Menurut Rieke, JK sebaiknya berkonsultasi dengan pakar hukum tata negara agar tidak sesat logika penafsiran konstitusi dan undang-undang. Sebab, jelas ada perbedaan antara pansus dengan pansus angket yang dibentuk dalam nomenklatur Undang-Undang yang berlaku di Indonesia.

Dalam tata tertib DPR RI yang merupakan turunan dari UU MPR DPR DPD dan DPRD (MD3), ketika rekomendasi pansus angket telah disepakati DPR RI dalam paripurna tidak ditindaklanjuti pemerintah, DPR dapat mengusulkan hak menyatakan pendapat.

Setelah mengusulkan hak menyatakan pendapat, yang disepakati di sidang paripurna, hasilnya diajukan ke Mahkamah Konstitusi, maka dapat berujung pada impeachment terhadap Presiden.

“Saya bukan menuduh, hanya pikiran selintas saja jangan-jangan Pak JK sedang mendorong terbentuknya opini pansus Pelindo bukan pansus angket. Dan berharap Presiden (Jokowi) percaya,” kata Rieke pada wartawan, Senin (21/12).

Rieke menambahkan, kalau Jokowi tidak menindaklanjuti rekomendasi pansus angket, Presiden dapat dikategorikan melakukan pembiaran dan melakukan pemufakatan dengan pelanggar UUD 1945, putusan MK, UU dan Peraturan perundang-undangan lainnya. Artinya, Presiden juga melakukan kesalahan serius dan fatal yang berarti harus dicopot dari jabatannya.

“Kalau Jokowi diberhentikan dari jabatannya, yang menggantikan jadi Presiden siapa ya? Silakan rakyat Indonesia menjawabnya,” tegas politikus PDIP ini.

Dari hasil temuan pansus, baik dokumen maupun pernyataan RJ Lino dan Menteri BUMN yang disampiakan di bawah sumpah dan dalam rapat terbuka, akan sangat sulit keduanya mengelak dari pembuktian telah melakukan pelanggaran terhadap UUD 1945, Putusan MK, UU dan Peraturan Perundang-undangan dalam proses perpanjangan kontrak JICT. Padahal, kontrak JICT baru berakhir tahun 2019, namun sudah diperpanjang tahun 2015 ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement