REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Anggota Pansus Penyelesaian Konflik Agraria DPR RI, Azis Subekti, mendukung penuh langkah tegas Menteri ATR/BPN untuk membersihkan institusi dari oknum yang bermain dalam urusan tanah dan mempercepat reformasi sistem administrasi pertanahan.
Azis mengatakan, digitalisasi data, transparansi proses pelayanan, mekanisme pengawasan yang kuat, serta akses informasi yang mudah bagi publik harus dipercepat.
“Kepercayaan rakyat terhadap institusi negara hanya bisa dibangun dengan tindakan nyata yang menutup celah penyimpangan, bukan sekadar retorika,” kata dia, dalam keterangannya, Jumat (14/11/2025).
Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Gerindra ini mengatakan, kasus sengketa tanah seluas 16,4 hektare di Makassar yang menimpa mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla ini harus menjadi titik balik. Negara tidak boleh kalah oleh mafia tanah.
Tanah di Indonesia harus kembali pada fungsi mulianya yaitu memberi kepastian hidup yang adil bagi seluruh rakyat, dari tokoh bangsa hingga rakyat paling kecil sekalipun.
Dia menyebut isu mafia tanah dan carut-marut administrasi pertanahan di masa lalu bukan sekadar isu di media, tetapi kenyataan pahit yang bisa menimpa siapa saja.
“Kalau seorang mantan Wakil Presiden saja bisa menjadi korban salah kelola administrasi pertanahan, apalagi rakyat kecil yang tidak punya akses kuasa dan jaringan,” kata dia.
Dia mengatakan, ramainya pemberitaan mafia tanah selama ini menegaskan adanya persoalan serius dalam tata kelola pertanahan, termasuk dugaan keterlibatan oknum-oknum internal di lembaga pertanahan pada masa lalu.
Penerbitan sertifikat ganda, data yang tumpang tindih, hingga proses administrasi yang tidak transparan telah melahirkan ketidakpastian hukum yang merugikan warga negara dan menggerus kepercayaan publik terhadap negara.
Azis menyatakan, Presiden Prabowo Subianto sejak lama mengingatkan tentang paradoks Indonesia yakni negeri yang luas, tetapi penguasaan tanahnya sangat timpang, di mana porsi terbesar justru dikuasai segelintir orang dibandingkan rakyat banyak. Karena itu, dalam Asta Cita Presiden, reforma agraria dan penataan ulang kepemilikan tanah yang adil menjadi salah satu prioritas utama.
“ Tanah bukan sekadar aset ekonomi, melainkan hak hidup dan ruang masa depan bagi seluruh rakyat Indonesia,” tutur dia.
Azis menyebut kasus sertifikat ganda yang menimpa Pak Jusuf Kalla berasal dari produk administrasi lama BPN. Ini bukan kasus tunggal. Data nasional mencatat sedikitnya 11.083 sengketa tanah, 506 konflik, dan 24.120 perkara tanah pada 2024, dengan tingkat penyelesaian baru sekitar 46,88 persen.
Sampai Oktober 2025 Kementerian ATR/BPN mencatat 6.015 kasus pertanahan yang diterima dan 50 persen sudah diselesaikan. Artinya, lebih dari separuh masalah pertanahan masih menggantung dan berpotensi menjadi sumber ketidakpastian hukum maupun konflik sosial di masa depan.
“Yang lebih memprihatinkan, rakyat kecil justru berada di posisi paling rentan,” kata dia.
Azis mengungkapkan sepanjang 2024, terdapat sekitar 2.161 kasus pertanahan yang melibatkan masyarakat kecil, di luar itu 295 konflik agraria tercatat di berbagai wilayah. Bila seorang mantan Wakil Presiden bisa menjadi korban maladministrasi, maka risiko bagi petani, nelayan, dan warga biasa jauh lebih besar.
Dia menyebut banyak dari mereka tidak memiliki kemampuan hukum, akses informasi, atau jaringan politik untuk memperjuangkan haknya. “Di sinilah negara harus hadir secara aktif, bukan pasif,” tutur dia.
Dalam konteks itu, dirinya menekankan bahwa kasus sengketa tanah di Makassar yang menyebabkan Pak Jusuf Kalla dirugikan akibat maladministrasi oknum BPN harus dijadikan pelajaran penting. Ini momentum untuk membenahi total keterbukaan administrasi dan sistem pemberian hak atas tanah, dari hulu hingga hilir.
“Tidak boleh lagi ada ruang abu-abu yang memungkinkan terjadinya sertifikat ganda, manipulasi data, maupun praktek percaloan yang merugikan warga negara,” ujar dia.
Dia menyarankan, Kementerian ATR/BPN ke depan perlu membuka ruang seluas-luasnya bagi penanganan kasus serupa yang melibatkan rakyat kecil. Jika seorang tokoh nasional saja bisa menjadi korban, dapat dibayangkan berapa banyak masyarakat biasa yang selama ini memilih diam karena tidak tahu cara mengadu atau merasa tidak punya kekuatan melawan.
“Negara harus hadir, bukan hanya dengan menyelesaikan kasus besar yang menjadi sorotan media, melainkan juga dengan menuntaskan ribuan kasus senyap yang menjerat rakyat kecil di berbagai daerah,” tutur dia.