REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengunduran diri Setya Novanto dari kursi ketua DPR RI kemarin malam (16/12) diapresiasi oleh fraksi partai penguasa. Menurut anggota Komisi I Tubagus Hasanuddin, mundurnya Setya Novanto merupakan akhir yang baik bagi dinamika pengusutan skandal 'Papa Minta Saham' di Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).
Setelah itu, lanjut politikus PDI Perjuangan itu, legislatif mesti evaluasi kinerja. Sebab, menurut dia, kinerja DPR selama satu tahun belakangan ini terkuras hanya pada soal kekisruhan politis, alih-alih menuntaskan tugas legislasi. TB Hasanuddin mendorong, DPR pasca reses nanti akan lebih produktif.
"Tentu kita harus memperbaiki kinerja di DPR ini. Bayangkan saja, satu tahun kita hanya menyelesaikan dua undang-undang dari target sekian puluh. Energi kita habis terkuras untuk hal-hal seperti ini (kasus etik Setya Novanto)," ujar TB Hasanuddin di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (17/12).
Dia lantas menjelaskan, pokok kegaduhan di DPR cenderung didasarkan pada berlakunya Undang-Undang Nomor 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3). Beleid tersebut mengubah UU Nomor 27/2009 tentang hal yang sama.
Menurut Ketua DPD PDI Perjuangan Jawa Barat itu, kondisi di legislatif jauh lebih baik ketika UU MD3 27/2009 masih berlaku. Dia mengaku ada nuansa saling jegal dalam dinamika berpolitik di legislatif semenjak UU 17/2014 diberlakukan. Karenanya, dia pun mendorong revisi atas UU MD3 17/2014.
"Saya berharap ketua-ketua umum partai dimohon untuk duduk menyelesaikan masalah kebangsaan ini dengan sebaik-baiknya, karena pokok masalah intinya di sini (UU MD3). Kepemimpinan di DPR tidak sesuai dengan nurani, tidak sesuai dengan aturan yang sebaik-baiknya," ujar dia.