Ahad 13 Dec 2015 15:53 WIB

Jika Lemahkan KPK, Jokowi akan Setop Pembahasan Revisi UU

Rep: Halimatus Sa'diyah/ Red: Nur Aini
Aktifis dari Gerakan Anti Korupsi Alumni Lintas Perguruan Tinggi mengunakan sarung tangan saat aksi solidariatas di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (27/11). (Republika/Tahta Aidilla)
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Aktifis dari Gerakan Anti Korupsi Alumni Lintas Perguruan Tinggi mengunakan sarung tangan saat aksi solidariatas di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (27/11). (Republika/Tahta Aidilla)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pembahasan tentang revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah berlangsung di DPR. Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki menyebut, Presiden Jokowi bisa saja menghentikan pembahasan tersebut dengan tidak mengeluarkan amanat presiden (Ampres) jika pada akhirnya ditemukan bahwa revisi justru melemahkan KPK.

Sebab, Ampres berfungsi seperti 'lampu hijau.' Tanpa Ampres, mustahil bagi Dewan untuk melanjutkan pembahasan revisi Undang-Undang.

"Bisa saja nanti Presiden tidak meneruskan atau tidak mengeluarkan Ampres kalau memang dirasakan ini akan melemahkan KPK," ucap Teten di kantornya, Jakarta Ahad (13/12).

Dia menyebut, pemerintah sebenarnya telah memiliki konsep revisi yang diinginkan untuk KPK. Namun, hal itu baru akan dibahas ketika ada pembicaraan dengan DPR.

Pada prinsipnya, Teten kembali menegaskan komitmen pemerintah yang ingin menguatkan KPK. Karenanya, ia meminta Dewan memperhatikan keinginan Presiden yang meminta agar revisi dilakukan untuk semakin memperkuat lembaga anti-rasuah tersebut.

"Presiden dari awal sudah jelaskan bahwa revisi itu semangatnya harus untuk memperkuat KPK, bukan melemahkan. Jadi ini saya kira harus diperhatikan teman-teman di DPR yang mengambil inisiatif revisi," kata mantan aktivis antikorupsi tersebut.

Setidaknya ada empat poin perubahan dari revisi UU KPK, yakni aturan penyadapan, keberadaan dewan pengawas, pengangkatan penyidik, dan kewenangan menerbitkan Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan (SP3). Khusus poin penyadapan, DPR ingin agar kewenangan menyadap yang dimiliki KPK itu baru boleh dilakukan apabila telah ada izin dari kepala pengadilan negeri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement