Selasa 01 Dec 2015 13:01 WIB

Walhi Sebut Pidato Jokowi di Paris Kontradiktif

Red: Nur Aini
Presiden RI Joko Widodo memberikan pidato pada pembukaan KTT Perubahan Iklim di Paris, Selasa (30/11).
Foto: Reuters
Presiden RI Joko Widodo memberikan pidato pada pembukaan KTT Perubahan Iklim di Paris, Selasa (30/11).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Lembaga Swadaya Masyarakat pemerhati lingkungan Walhi menyebut pidato Presiden Joko Widodo pada sesi Leaders Event dalam Conference of Parties (COP) 21 di Paris menyuarakan komitmen sekaligus menunjukkan kontradiksi.

Eksekutif Nasional Walhi Kurniawan Sabar mengatakan penyampaian kesadaran kerentanan Indonesia terhadap dampak perubahan iklim ini penting dilakukan. Namun, ia mengatakan yang perlu menjadi catatan khusus, di tengah kerentanan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil terhadap perubahan iklim, konversi terus terjadi. Berbagai proyek reklamasi terjadi di Indonesia, dan pulau-pulau kecil diserbu industri tambang dan sawit.

Hal itu berarti di tengah kerentanan, menurut dia, pemerintah terus memproduksi pembangunan berisiko tinggi. Selain masalah dan tantangan yang dihadapi oleh Indonesia, Presiden juga menyampaikan komitmennya sebagai upaya kontribusi dalam aksi global menurunkan emisi sebagaimana yang tercantum dalam INDC Indonesia, menurunkan emisi hingga 29 persen dengan melalui business as usual sampai 2030, dan 41 persen dengan bantuan internasional.

Penurunan emisi dibagi dengan mengambil langkah di beberapa bidang antara lain energi, tata kelola hutan dan lahan, dan di bidang maritim. Sejak awal, ia mengatakan Walhi telah mengkritik INDC Indonesia, yang dalam konteks kebakaran hutan dan lahan, tidak menghitung emisi dari kebakaran hutan dan lahan.

"Padahal kita tahu, bahwa sumber emisi Indonesia, sebagian besar dari land use land use change and forestry (LULUCF)," ungkapnya.

Pemerintah Indonesia, menurut dia, seharusnya mengukur ulang baseline emisi dari kejadian kebakaran hutan dan gambut, sehingga perlu menjadikan kebakaran hutan dan lahan dan juga tata kelola gambut sebagai salah satu hal yang paling mendasar.

Penetapan moratorium dan review izin pemanfaatan lahan gambut jika situasi seperti saat ini, tidak memiliki kekuatan signifikan. Ia mengatakan kebijakan moratorium yang dikeluarkan oleh Presiden melalui Inpres Nomor 8 Tahun 2015 sangat lemah, terlebih tanpa ada review terhadap perizinan lama dan penegakan hukum.

Jika dihubungkan dengan rencana pembangunan Indonesia sebagaimana yang termuat dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015--2019, antara lain di sektor energi, pembangunan 35 ribu megawatt (MW), sebagian besar masih mengandalkan batubara, energi yang kotor yang justru akan semakin menaikkan emisi Indonesia.

"Bagaimana mungkin target menurunkan emisi karbon 29 persen pada 2030 dapat tercapai, jika karbon yang dihasilkan dari pembakaran batubara, justru meningkat dua kali lipat dari 201 juta tCO2 pada 2015 menjadi 383 juta tCO2 pada 2024," ujarnya.

Sebelumnya dalam pidatonya, Presiden menyampaikan beberapa hal penting. Sebagai negara pemilik hutan terbesar Indonesia menjadi paru-paru dunia, sedangkan kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan dengan luas wilayah lautnya mencapai dua pertiga dari wilayah Indonesia rentan dengan perubahan iklim, khususnya pulau-pulau kecil dengan persentase 60 persen penduduk Indonesia tinggal di pesisir.

Presiden dalam pidatonya juga menyampaikan masalah kebakaran hutan dan lahan, dan upaya penanggulangannya, baik dalam upaya penegakan hukum maupun langkah-langkah prevensi yang telah disiapkan diantaranya restorasi ekosistem gambut dengan pembentukan Badan Restorasi Gambut.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement