Selasa 24 Nov 2015 16:50 WIB

Alasan MKD Persoalkan Status Sudirman Sahid Dianggap Dibuat-buat

Rep: Eko Supriyadi/ Red: Erik Purnama Putra
Ketua DPR Setya Novanto
Foto: Republika/ Yogi Ardhi
Ketua DPR Setya Novanto

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aktivis dan pengamat politik Ray Rangkuti menilai, MKD tidak sepatutnya mempersoalkan legal standing Menteri Sudirman Sahid sebagai pelapor kasus pencatutan nama. Sebab, tidak ada alasan bagi MKD untuk tidak menerima laporan SS hanya karena statusnya yang seorang menteri.

"Sebetulnya, tidak ada argumen bagi MKD untuk tidak melanjutkan sidang Setya Novanto," kata Rangkuti, dalam sebuah konferensi pers di Jakarta, Selasa (24/11).

Rangkuti menyatakan, kalau argumen yang menyebutkan soal legal standing SS adalah argumen yang dibuat-buat. Sebab, definisi yang ada dalam aturan MKD, yang berhak melaporkan adalah anggota dan setiap orang, dan tidak disebutkan secara spesifik.

"Maka tidak tepat kalau eksekutif dibatasi. Pasal 1 poin 10 tata beracara di MKD, langsung dihubungkan Pasal 5 Ayat 1, kalimat masyarakat itu dengan sendirinya bisa menganulir statemen pejabat negara (eksekutif maupun legislatif)," jelasnya.

Rangkuti mengatakan, kalau yudikatif dan eksekutif dikeluarkan, apa dasarnya legislatif tidak dikeluarkan dari poin yang dimaksud dengan masyarakat itu. Jadi yang ada dalam bayangan MKD, yang berhak melaporkan itu legislatif dan masyarakat diluar eksekutif dan yudikatif.

Ia menjelaskan, secara umum, aturan melarang hak warga negara hanya bisa diatur oleh UU, bukan setingkat aturan DPR. Apa alasan mendasar yang membuat eksekutif kehilangan hak untuk melaporkan ke MKD. "Kalau tidak bisa dijelaskan acuan pelarangan itu, aturan itu dengan sendirinya batal. Apakah dalam UU itu ada yang menyatakan eksekutif dan yudikatif tidak boleh melaporkan ke MKD?"

Menurut dia, tidak boleh ada aturan yang merampas hak orang lain, apalagi hanya ada dalam aturan DPR. Sehingga, kata dia, tafsir yang dibuat MKD semata-mata untuk melindungi objek terlapor dalam hal ini Setya Novanto, dari persidangan selanjutnya.

Karena itu, cara pandanganya harus dari tipologi sosiologi biasa. Sebab, kalimat masyarakat itu menunjukan siapapun warga negara boleh melaporkan anggota DPR tanpa melihat jabatan. "Kalau mereka artikan masyarakat itu tidak termasuk eksekutif dan yudikatif, maka jadi kacau," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement