REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik dari Universitas Nasional (Unas) Jakarta, Firdaus Syam memperkirakan, Pansus Pelindo II tidak akan menghasilkan keputusan yang berpihak kepada kepentingan publik karena nuansa kepentingan politik sangat kentara sejak awal pembentukan Pansus itu.
"Saya pesismistis Pansus itu bisa menghasilkan keputusan sesuai harapan publik. Pembentukan Pansus itu pun terkesan terburu- buru kan. Tidak tau apa yang dikejar," ujar Firdaus Syam di Jakarta, Kamis (5/11).
Menurut Firdaus, belajar dari pansus kasus Century beberapa tahun lalu yang hingga kini tak jelas rimbanya. Pansus century hanya panas di awal namun berakhir tanpa hasil apa pun. Ia menilai Pansus Pelindo tak akan jauh beda dengan pansus Century karena di dalam pansus yang muncul pasti kepentingan sekelompok elite tertentu karena memang tujuannya demikian.
Sehingga, kata dia, tak mengherankan publik bersikap apatis dengan keberadaan Pansus itu. Publik tak lagi merasa bahwa Pansus Pelindo mampu membongkar suatu kasus besar namun hanya diarahkan sesuai kepentingan segelintir elite.
"Pansus Pelindo akan bergulir menjadi 'bola liar' yang terus mengambang. Nasibnya akan sama seperti pansus century. Saya kira publik tak perlu berharap banyak," katanya.
Ia mengatakan, tarik-menarik kepentingan di dalam Pansus maupun tekanan dari partai politik tak dapat dihindari lagi. Hal itu terlihat dari sesama anggota Pansus sudah mulai melihat gelagat dari arah Pansus itu.
"Seri terbaru perjalanan sejarah DPR akan diuji di Pansus Pelindo. Karena tidak tepat ketika DPR menemukan suatu kasus di BUMN seperti Pelindo II langsung membentuk pansus," tuturnya.
Ketidaktepatan Pansus Pelindo juga terlihat kinerja Pansus selama ini yang terkesan membidik Dirut Pelindo II Lino terus meski ada target orang lain juga. Hal itu akan membuat preseden yang buruk kinerja Pansus.
"BUMN kita kan ada ratusan jumlahnya. Kalau separuh saja bermasalah DPR langsung bentuk pansus. Kalau sudah begitu DPR berubah saja jadi lembaga pansus," katanya.
Ikuti Whatsapp Channel Republika