REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus korupsi pengadaan 10 mobil crane di PT Pelindo II hingga saat ini masih seperti benang kusut. Kasus-kasus yang nampaknya sulit dipecahkan, rencananya Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) dapat berkolaborasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengusut tuntas.
Kapolri Jenderal Badrodin Haiti akan mengakhiri masa jabatan di akhir Juli 2016 nanti. Badrodin berpesan untuk penanganan kasus-kasus yang belum terselesaikan supaya para penyidik Bareskrim dapat meningkatkan kinerjanya dalam memberantas kasus-kasus korupsi tersebut.
Termasuk kata dia kemungkinan kerjasama dengan KPK untuk penanganan kasus-kasus yang sulit dipecahkan Bareskrim. Misalnya sambung Badrodin kasus Pelindo.
"Contohnya kasus pelindo di KPK juga ada kasus ini, itu mungkin bisa sharing, paling tidak bisa tukar menukar informasi dan kerjasama ya" ujar Badrodin di Rupatama Mabes Polri, Jakarta Selatan, Senin (20/6) malam.
Saat kesulitan apa yang dialami penyidik sehingga kasus tersebut belum juga dituntaskan, Badrodin menjawab tidak tahu persis. Yang pasti kata dia penyidik telah terbang ke Cina untuk melakukan pemeriksaan terhadap RJ Lino.
"Saya tidak tahu persis tapi penyidik sudah berangkat ke Cina karena memang kita harus melakukan pemeriksaan di sana. Apakah nanti masih ada kesulitan atau tidak, atau kalau masih ada hambatan-hambatan tentu kita cari jalan keluarnya," papar Badrodin.
Untuk diketahui dalam kasus dugaan korupsi dalam pengadaan mobil crane RJ Lino diduga terlibat di dalamnya. Hanya saja hingga saat ini mantan direktur PT Pelindo II tersebut masih berstatus sebagai saksi.
Sedangkan tersangkanya sendiri saat ini penyidik Bareskrim Polri baru menetapkan dua tersangka. Yakni Direktur Operasi dan Teknik PT Pelindo II Ferialdy Nurlan dan Manajer Senior Peralatan di PT Pelindo II, Haryadi Budi Kuncoro.
Dalam kasus tersebut Haryadi yang merupakan adik mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto berperan membantu atasannya. Adapun hasil audit investigatif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memperkirakan kerugian negara akibat kasus tersebut mencapai sebesar Rp 37,9 miliar.