Kamis 29 Oct 2015 12:52 WIB

Bencana Asap, Pemerintah tak Berusaha Lindungi Warga

Sebuah sepeda motor menembus kabut asap ketika terjadi kebakaran lahan gambut di sekitar Pulang Pisau, Kalteng, Selasa (27/10).
Foto: Antara/Saptono
Sebuah sepeda motor menembus kabut asap ketika terjadi kebakaran lahan gambut di sekitar Pulang Pisau, Kalteng, Selasa (27/10).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Bencana asap yang tak kunjung mereda bisa dianggap sebagai kejahatan, lantaran negara gagal melindungi hak asasi warga negara, sebagaimana diamanatkan konstitus. Pengamat hukum Andri W Kusuma menyatakan, kabut asap yang menyelimuti Sumatra dan Kalimantan hingga sampai ke Singapura, Malaysia, dan Filipina menandakan adanya kesan pembiaran.

"Seolah-olah perangkat pemerintah tak berjalan sebagaimana mestinya untuk melindungi warga negara,” ujar Andri di Jakarta, Rabu (28/10).

Menurut dia, pemerintah memiliki Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) yang datanya bisa dijadikan acuan dalam mengatasi bencana asap. Dampak El Nino yang menyebabkan kekeringan semakin membuat kebakaran hutan menjadi besar. Sayangnya, hal itu sepertinya kurang diantisipasi pemerintah.

"Saya yakin dampak El Nino ini ada kajian dilakukan. Ini kenapa tidak diantisipasi dengan meminta masyarakat atau pemegang izin lahan untuk jangan melakukan aktivitas buka lahan dulu. Ini yang sederhananya,” katanya.

Dia menyarankan agar pemerintah meminta pertanggungjawaban mutlak (strict liability) bagi pembakar lahan yang terbukti bersalah. Hal itu wajib dilakukan agar memberikan efek jera. Dengan begitu, tidak perlu ada atau dibuktikan ada kesalahan selama terdapat akibat terhadap lingkungan pelaku dapat diminta strict liability.

"Tetapi sangat mengherankan negara dalam hal ini pemerintah tidak mau menerapkan langkah itu.  Sepertinya ada kekuatan pemilik modal besar yang dilundungi. Penegakan hukum yang dilakukan justru malah menyasar perusahaan kelas menengah dan tergolong kecil, selain itu hanya menggunakan mekanisme proses pidana biasa, yang pembuktiannya tidaklah mudah," ujarnya.

Terkait dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup, Pasal 69 Ayat (2) dimana dinyatakan  membuka lahan dengan cara membakar diperbolehkan dengan memperhatikan kearifan lokal daerah masing-masing, Andri mengatakan, itu sebenarnya jelas ada disebut tentang kearifan lokal.

“Kalau lahan gambutnya tak dalam ini bisa dimaklumi. Kalau di Riau atau daerah lain di Sumatra itu bisa tembus 50 centimeter. Itu bahaya dibakar,” katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement