REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai kekerasan anak di Indonesia sudah masuk tingkat darurat. Hal ini karena kekerasan terhadap anak sudah terjadi berkali-kali di Indonesia.
“Bagi saya sudah sangat darurat,” ujar Komisioner KPAI Rita Pranawati kepada Republika, Rabu (14/10).
Sebelumnya, siswa sekolah menengah atas di Pulau Moti Ternate Maluku Utara tewas setelah dipukul mistar kayu oleh guru honor ketika upacara pagi. Kejadian ini terjadi karena korban tidak memakai seragam yang telah ditentukan. Peristiwa pemukulan ini juga terjadi di hadapan siswa lainnya.
Selain itu, Rita juga mengungkapkan peristiwa pemukulan oleh guru juga sempat terjadi di Nusa Tenggara Timur (NTT). Guru di NTT tercatat telah menjedotkan jidat anak berkali-kali ke tembok. Sikap ini dilakukan sebagai hukuman karena siswa itu tidak bisa menghapal.
Selama ini, Rita menyatakan, kekerasan fisik psikis dan seksual dilakukan tidak hanya dilakukan orang dewasa. Tindakan ini acapkali juga dilakukan sesama anak.
Mengenai kondisi demikian, Rita menilai ini karena budaya kekerasan yang masih mengakar di masyarakat. Bahkan, sikap ini juga masih ada di dunia pendidikan. Situasi ini jelas harus dhilangkan dan perlu dihapus.
Berkenaan dengan anak, menurut Rita, pengasuhan di rumah sangat berpengaruh. Anak sebagai pelaku dan korban dapat dikurangi jika komunikasi dan pengasuhan berjalan baik di rumah.
Menurut Rita, kasus kekerasan di sekolah sebenarnya dapat teridentifikasi baik. Ini bisa terjadi jika anak dapat bercerita dengan baik di rumah. Namun faktanya, lanjut dia, hanya 70 keluarga yang mampu berkomunikasi dengan anak sekitar satu hingga dua jam.
Rita juga melanjutkan, beradasarkan survei nasional KPAI di 2015, kehidupan sosial anak tidak dianggap penting oleh orangtua. Selain itu, Rita juga menerangkan, kesadaran mereka tentang pengasuhan juga rendah.
Menurut Rita, hanya 25 persen ayah dan 31 persen ibu yg mencari informasi terkait pengasuhan. Mereka mencarinya sebelum memiliki anak. Sementara itu, ia menambahkan, 60 persen ayah dan 70 persen orangtua hanya bisa mengikuti pola asuh orangtua mereka sebelumnya.
“Padahal setiap anak memiliki tantangan berbeda dalam pengasuhan,” tutup dia.