Ahad 11 Oct 2015 14:05 WIB
Pelemahan KPK

Jokowi Diharapkan tidak Terbitkan Surpres

Rep: C14/ Red: Ilham
Presiden Jokowi.
Foto: Antara
Presiden Jokowi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Upaya merevisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus menuai kecaman dari kalangan aktivis dan tokoh masyarakat.

Menurut peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Miko Susanto Ginting, revisi UU KPK merupakan rangkaian dari skenario besar pelemahan terhadap KPK. Demikian pula dengan peristiwa kriminalisasi terhadap dua komisioner KPK atau penerbitan Perppu pengangkatan pelaksana tugas (Plt) pimpinan KPK.

"Revisi UU KPK kembali menjadi momen pembuktian sikap Presiden Joko Widodo. Setelah dalam beberapa kali upaya pelemahan terhadap KPK dan pemberantasan korupsi sebelumnya, Presiden Joko Widodo tidak menunjukkan sikap dan keberpihakan yang jelas," jelas Miko Susanto Ginting dalam keterangan tertulis yang diterima, Ahad (11/10).

Namun, lanjut Miko, konstitusi pun memberi peluang bagi Presiden Jokowi untuk menunjukkan konsistensinya. Yakni, Presiden menolak melanjutkan pembahasan revisi tersebut. Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 menyatakan, setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.

Pasal 49 dan Pasal 50 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan pembahasan suatu RUU dapat dilakukan ketika Presiden menerbitkan Surat Presiden (Surpres). Artinya, tanpa adanya Surpres, pembahasan terhadap revisi UU KPK tidak akan dapat dilaksanakan.

"Secara hukum, Presiden dapat menolak pelemahan terhadap KPK dan pemberantasan korupsi dengan tidak menerbitkan Surat Presiden (Surpres) untuk melakukan pembahasan revisi UU KPK," tegas Miko.

Keberadaan Surpres merupakan syarat dari kaidah prosedural sebelum pembahasan suatu RUU dimulai antara Presiden dan DPR. Selain itu, Surpres mengonfirmasi kesiapan Presiden untuk membahas suatu RUU, sehingga menteri terkait dapat ditugaskan menemui legislatif di Senayan mewakili Presiden.

"Sebaliknya, jika Surpres tidak dikeluarkan oleh Presiden, secara jelas berarti Presiden telah mengambil sikap tidak menyetujui RUU ini dan menolak meneruskannya ke tahap pembahasan," tukas dia.

Miko lantas menyimpulkan, tanpa keberpihakan yang tegas dari Presiden Joko Widodo, maka pemberantasan korupsi di Indonesia bisa semakin lemah. Perjuangan untuk mencapai Indonesia yang bebas korupsi akan semakin berat.

Alasannya, jika RUU KPK sampai disahkan, maka kewenangan kunci KPK akan tergerus. Misalnya, lembaga tersebut tak lagi berwenang mengangkat penyidik secara mandiri, melakukan penuntutan, serta harus menyerahkan kasus yang ditanganinya kepada Kepolisian dan Kejaksaan apabila nilai kerugian negara masih di bawah Rp 50 miliar. Belum lagi usia KPK yang dipatok sampai 12 tahun saja.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement