REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua PBNU bidang hukum, perundang-undangan dan hak asasi manusia, Robikin Emhas, berpendapat pembatasan umur Komisi Pemberantasan Korupsi selama 12 tahun dalam revisi UU KPK tidak mencerminkan kesadaran kolektif antikorupsi.
"Bahkan boleh dikatakan tidak memiliki basis argumentasi dan rasio logis yang memadai, karena di tengah praktik korupsi yang masih membudaya," kata Robikin di Jakarta, Kamis (8/10).
Oleh karena itu, lanjut pengacara konstitusi ini, sangat bisa dipahami apabila terjadi penolakan publik terhadap gagasan itu. "Berbeda seandainya pembubaran KPK yang memang bersifat ad hoc itu didasarkan pada indeks korupsi dengan parameter yang akuntabel, misalnya," kata Robikin.
Dia juga mengungkapkan bahwa Nahdlatul Ulama dalam Muktamar ke-33 di Jombang pada awal Agustus lalu bahkan merekomendasi agar koruptor dihukum mati. "Rekomendasi itu dilakukan setelah melalui kajian mendalam dan sangat hati-hati, termasuk dari sisi hak asasi manusia mengingat menyangkut hak hidup manusia," katanya.
Di antara pertimbangan faktual Nahdlatul Ulama merekomendasi hukuman mati terhadap koruptor adalah karena daya rusak korupsi yang langsung menyentuh kehidupan ekonomi masyarakat di tingkat akar rumput. Dalam keadaan seperti ini, katanya, politik pembangunan hukum harus memperkuat institusi penegak hukum di bidang pemberantasan korupsi, baik kepolisian, kejaksaan dan KPK. Selain itu, tegas Robikin, pembentuk undang-undang melalui proses legislasi yang ada perlu terus mendorong tata kelola pemerintahan yang makin akuntabel dan transparan.