Rabu 07 Oct 2015 21:49 WIB
Pelemahan KPK

Demokrat Tolak Revisi UU KPK Jika Memperlemah KPK

Rep: Dessy Suciati Saputri/ Red: Ilham
Benny K Harman
Foto: Antara/Tahta Aidilla
Benny K Harman

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi III DPR, Benny K Harman menegaskan, Partai Demokrat menolak revisi Undang-Undang nomor 30 tahun 2002 tentang KPK. Penolakan tersebut dilakukan jika revisi UU KPK dimaksudkan untuk memperlemah lembaga anti-korupsi.

"Jelas Demokrat menolak revisi UU KPK yang dimaksudkan untuk memperlemah. Kalau memperkuat silahkan," kata Benny di DPR, Jakarta, Rabu (7/10).

Kendati demikian, Benny menilai jika revisi dilakukan untuk mencegah penyalahgunaan kewenangan oleh KPK, maka revisi perlu dilakukan. Ia pun menyebut terdapat sejumlah pasal yang memang harus direvisi.

"Ada beberapa pasal yang memang harus direvisi untuk mencegah adanya multi interpretasi, mencegah penyalahgunaan kewenangan oleh KPK ini sudah lama diwacanakan," jelas dia.

 

Lebih lanjut, ia mengatakan KPK tak mungkin dapat bekerja sendiri memberantas korupsi. Selama revisi dilakukan untuk memperkuat lembaga anti-korupsi, maka Benny menegaskan akan mendukungnya. "Tapi kita juga butuh lembaga KPK yang kredibel, akuntable, transparan, dan juga rasional," kata dia. Dari draft revisi UU KPK tersebut, sambung Benny, masih membutuhkan pembahasan lebih lanjut.

Enam fraksi di DPR mengusulkan revisi UU KPK. Keenamnya adalah Fraksi Partai Golkar, Fraksi PDI Perjuangan, Fraksi Partai Nasdem, Fraksi PKB, Fraksi Hanura, dan Fraksi PPP.

Beberapa pasal yang mereka usulkan untuk diubah antara lain:

Pasal 5 penambahan: Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk untuk masa waktu 12 tahun sejak undang-undang ini diundangkan.

Pasal 13 ayat c: Dalam hal KPK melakukan penyidikan menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 50 miliar dalam hal KPK telah melakukan penyidikan dimana ditemukan kerugian negara dengan nilai dibawah Rp 50 miliar maka wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan kepada kepoliisian dan kejaksaan dalam waktu paling lama 14 hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan komisi pemberantasan korupsi.

Pasal 14 ayat a: KPK melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan setelah ditemukan bukti permulaan yang cukup dengan izin dari ketua pengadilan negeri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement