REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Usulan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seolah muncul tiba-tiba di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI. Sebab, tidak semua nama yang masuk sebagai pengusul mengetahui isi draf yang dimasukkan ke rapat internal Baleg Selasa (6/10) lalu.
Munculnya draf revisi UU KPK di rapat internal Baleg itu bahkan tidak diketahui darimana asalnya.
Anggota Baleg dari fraksi PPP, Arwani Tomafi yang juga menjadi salah satu pengusul mengaku tidak tahu asal-muasal munculnya draf revisi UU KPK. Sebab, sepengetahuannya, revisi UU KPK memang masuk program legislasi nasional 2014-2019 yang menjadi kesepakatan DPR dengan pemerintah.
Seluruh fraksi setuju dengan hal itu. Namun, pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM meminta pembahasan revisi UU KPK dipercepat sehingga masuk prolegnas prioritas 2015. Setelah mendapat protes dari masyarakat, Presiden Joko Widodo menunda pembahasan revisi UU KPK tahun 2015. “Saya tidak tahu soal draf itu dan siapa yang bikin,” kata Arwani pada Republika.co.id, Rabu (7/10).
Arwani mengaku belum pernah membaca isi draf revisi UU KPK yang diusulkan di rapat internal Baleg. Namun, kalau sejak awal pemerintah minta pembahasan revisi UU KPK dipercepat tahun 2015, sangat mungkin draf revisi sudah ada. Bisa diusulkan bersama antara pemerintah dan DPR. Terkait isi draf yang terlanjur beredar itu, imbuh dia, ada beberapa pasal yang tidak disetujui PPP. “Seperti pembatasan 12 tahun itu, soal kewenangan penuntutan, tetap saja,” imbuh dia.
Anggota Komisi III dari fraksi PDIP, Masinton Pasaribu menegaskan Presiden Jokowi sudah mengetahui soal isi draf revisi UU KPK ini. Menurutnya, sebagai kepala pemerintahan, Jokowi pasti sudah mengetahui draf revisi ini karena pembahasan UU harus dilakukan antara pemerintah dan DPR.
Saat ditanya siapa yang menyusun draf revisi UU ini, Masinton mengatakan banyak pihak yang ikut dalam pembahasan ini. Antara lain fraksi-fraksi pengusul, akademisi dan masyarakat. “Ya tahu lah (Jokowi), kan tidak ada yang salah dengan pembahasan ini,” kata dia.
Masinton mengaku ide awal revisi UU KPK berasal dari pemerintah. DPR hanya melanjutkan saja untuk menjadi inisiator. Sebab, masuknya revisi UU KPK di prolegnas prioritas 2015 lalu memang datang dari pemerintah. Soal draf yang ada saat ini, imbuh dia, DPR hanya mendalami dan melakukan penyesuaian saja.
Dia pun menegaskan, terkait pasal-pasal yang ada dalam draf revisi, substansinya sama dengan draf pemerintah. “Kira-kira gitu, nggak sama persis, ada beberapa yang kita sesuaikan,” kata Masinton. Terkait pasal soal umur KPK selama 12 tahun yang ada di draf, kata mantan anggota Baleg ini, juga berasal dari draf pemerintah. Juga pasal soal kewenangan penyadapan oleh KPK.
Masinton bahkan meminta pemerintah untuk jujur mengakui ini draf berasal dari pemerintah. Sebab, pemerintah sudah pernah memasukkan draf revisi UU KPK ini ke Baleg DPR. Dari draf itulah, anggota DPR yang menginisiasi membuat penyesuaian redaksional. Dalam draf yang dimasukkan dalam rapat internal Baleg, Selasa (7/10) lalu, masih terdapat kop surat bergambar bintang dengan keterangan Presiden Republik Indonesia.
“Dari PDIP aku yang pertama, karena ini bagian pertanggungjawaban sejarah juga yang bisa kulakukan, aku tahu pasti kontroversi,” tegas dia.
Politikus PDIP lain, Arteria Dahlan menolak draf revisi UU KPK ini adalah draf pemerintah. Menurutnya, secara rezim kelembagaan draf tersebut bukan lagi milik pemerintah karena Jokowi sudah membatalkan beberapa waktu lalu. Saat ini, revisi UU KPK menjadi inisiasi dari DPR RI.
Arteria memastikan suara fraksi PDIP bulat untuk mendukung revisi UU KPK ini. Semua isi pasal yang ada dalam draf merupakan kesepakatan bersama anggota DPR.
Jadi, draf yang saat ini sudah beredar ini dapat dianggap murni disusun oleh anggota DPR. Sebab, obyek yang ada dalam pasal antara draf dari pemerintah dan yang dibuat DPR sama. “Perkara substansi atau materi muatannya ada yang sama, bisa saja,” tegas dia.