REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Praktisi tata kelola air dari Universitas Indonesia Firdaus Ali mendukung kebijakan penggabungan dua perusahaan pengelola air PAM Jaya dan PAL Jaya agar problem minimnya pasokan air bersih di ibu kota cepat teratasi.
"13 sungai nggak bisa dipakai untuk air baku. Karena kalau dipakai mereka melanggar aturan pemerintah karena di atas ambang batas polusi," kata Firdaus usai mengisi Workshop Rencana Penggabungan PAM Jaya dan PAL Jaya di Hotel Grand Cempaka, Cempaka Putih, Jakarta Pusat, Selasa (6/10).
Tentunya, kata dia, ibu kota tidak bisa terus menerus mengharapkan Jatiluhur sebagai sumber utama pasokan air. Banyak kebutuhan lain yang juga memanfaatkan Waduk Jatiluhur. Apalagi dalam perjalanan di saluran, air rawan tercemar.
Sebagi ibu kota Indonesia, ia menganggap Jakarta harus bisa lebih maju dalam pengelolaan air. Pemprov Jakarta bisa meniru kota maju seperti Shanghai, Tokyo, bahkan Selangor, Malaysia. Sayangnya Indonesia sudah kalah maju bertahun-tahun dengan negara tersebut.
"Ini yang saya katakan ini (pengelolaan air limbah) mutlak dan wajib karena kita sudah terlambat 40 tahun menggabungkan itu," ujarnya.
Ia menyebut selama ini pengelolaan air limbah masih sangat minim. Dari seluruh wilayah Jakarta, tercatat baru tiga persen wilayah yang bisa dijangkau untuk dikelola air limbahnya.
Minimnya sarana dan prasarana dinilainya menjadi hambatan peningkatan kelola air limbah. Padahal pencemaran terhadap badan air permukaan dan air tanah semakin buruk. Hal ini diperparah dengan sanitasi yang buruk.
Penggabungan PAM Jaya dan PAL Jaya ini dianggapnya menjadi langkah yang tepat. lantaran dapat meningkatkan efektifitas kerja, efisiensi, serta keberlanjutan pelayanan dalam satu instansi.