Jumat 25 Sep 2015 16:40 WIB

Soal Pemeriksaan DPR, Keputusan MK Timbulkan Kerancuan Hukum

Rep: C07/ Red: Bayu Hermawan
Suasa Gedung MK
Foto: ANTARA
Suasa Gedung MK

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Hukum Tata Negara SIGMA, M Imam Nasef mengatakan ada beberapa hal yang menarik untuk dicermati terkait keluarnya putusan MK No. 76/PUU-XII/2014  tentang pemeriksaan atau penyidikan bagi anggota DPR harus melalui izin Presiden.

Ia mengatakan dalam putusan itu, terdapat persoalan hukum yang menyatakan Pasal 245 ayat (1) inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional). Akan tetapi di sisi lain, Pasal 245 ayat (2) tidak dibatalkan oleh MK.

"Hal ini menimbulkan kerancuan hukum, sebab Pasal 245 ayat (2) itu sesungguhnya merujuk kepada Pasal 245 ayat (1)," ujarnya kepada Republika.co.id, Jumat (25/8).

Seharusnya, sambung Nasef,  Pasal 245 ayat (2) juga diubah. Karena pasal rujukannya telah diubah oleh MK. Namun, karena MK tidak merubahnya, maka saat ini antara ketentuan Pasal 245 ayat (1) dengan ketentuan Pasal 245 ayat (2) saling bertentangan (kontradiktif). Kerancuan hukum ini tentu akan menyulitkan dalam tataran implementasinya kelak.

Kemudian, perlu digarisbawahi bahwa izin Presiden untuk melakukan pemeriksaan atau penyidikan terhadap anggota DPR tidak berlaku bagi seluruh dugaan tindak pidana. Sebab, ada beberapa tindak pidana yang dikecualikan dari ketentuan tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 245 ayat (3) UU MD3, yaitu: pertama, untuk tindak pidana yang berasal dari proses tangkap tangan.

Kedua, dugaan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan kemanusiaan dan keamanan negara. Ketiga, dugaan tindak pidana khusus.

Oleh karena itu untuk tindak pidana korupsi dan terorisme termasuk yang dikecualikan dari ketentuan tersebut. Artinya anggota DPR yang diduga melakukan korupsi dan terorisme bisa langsung diproses hukum, apakah itu dilakukan penyelidikan ataupun penyidikan tanpa harus terlebih dahulu meminta izin dari Presiden.

Terakhir, Presiden sebaiknya harus ekstra hati-hati dalam melaksanakan kewenangannya tersebut. Kewenangan tersebut harus dipahami sebagai kewenangan subyektif konstitusional seorang Presiden.

Sebelumnya dalam sidang yang berlangsung Selasa (22/9) lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan permintaan keterangan kepada anggota Dewan yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat izin terlebih dahulu dari Presiden, bukan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3).

Putusan ini tak hanya berlaku untuk anggota DPR, tapi juga berlaku untuk anggota MPR dan DPD. Sementara itu, untuk pemanggilan anggota DPRD Provinsi yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan dari menteri dalam negeri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement