REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Permintaan Presiden Joko Widodo agar tidak mengkriminalisasi kebijakan merupakan bentuk ketakutan dari instansi pengelola anggaran. Pasalnya penggunaan anggaran sudah memiliki aturan-aturan tersendiri sehingga tidak ada alasan untuk takut.
"Kalau batasan-batasan ini dipatuhi oleh instansi pengelolaan seperti pemerintah daerah atau kementerian, saya rasa tidak mungkin ada ketakutan," kata Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Yenny Soetjipto kepada ROL, Selasa (25/8) malam.
Pernyataan Jokowi terhadap para aparat penegak hukum ini dipandang sebagai justtifikasi untuk mengeluarkan aturan mengenai perlindungan terhadap pengelolaan anggaran terutama di segi infrastruktur. "Kita tidak ingin penyampaian seperti itu kemudian diisukan dengan ketakutan mengelola anggaran," ucapnya. Pasalnya, hal itu bisa saja dimainkan elite politik sehingga tidak mau menjalankan program tersebut.
Seandainya pengelolaan anggara mengendap atau tidak dijalankan, maka akan terjadi stagnanisasi pembangunan. Kemudian timbul pertanyaan, kalau anggaran diendapkan di bank maka bunga yang semakin tinggi itu bagaimana pengelolaannya? Misalnya bunga lima hingga tujuh persen dari Rp 500 miliar "Ini kan juga banyak, tapi apakah itu dikelola dengan baik? kan tidak," ujar Yenny.
Pernyataan Jokowi terkait kriminalisasi kebijakan itu disesalkan Yenny. Pria yang pernah menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta tersebut terkesan menggeneralkan antara persoalan yang menjadi ranah hukum dengan urusan administrasi dan standar pengendalian internal.
"Kalau ada perlindungan seperti itu nanti keenakan para elit politik, menjalankan semaunya karena ada perlindungan dari Presiden. Bisa semakin subur korupsi di Indonesia," katanya.