REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Adanya rencana memasukkan kembali pasal penghinaan Presiden dalam revisi rancangan KUHP dikhawatirkan dapat membungkam kritik terhadap kinerja pemerintah. Pasal penghinaan tersebut dianggap tidak sesuai dengan era demokrasi seperti sekarang ini.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar mengatakan pemerintah saat ini menunjukkan kegagalan kerja sehingga kerap menjadi objek kritik masyarakat. Pemerintah hendaknya menyikapi kritik ini dengan bijaksana, bukannya malah gegabah memasukkan pasal tersebut.
Ia menduga pasal ini akan dipakai untuk melindungi Presiden dari kritik publik yang oleh pihaknya dianggap menghina. Hingga kini batasan-batasan yang dimaksud penghinaan tidaklah jelas sehingga menjadi abu-abu bagi masyarakat ataupun lawan politiknya.
“Bisa jadi nanti digunakan betul untuk nangkepin orang yang mengkritik beliau,” ujarnya kepada ROL, Kamis (5/8).
Haris mengakui saat ini kritik terhadap pemerintah memang ada yang kebablasan dan masuk kategori menghina martabat individu Presiden Joko Widodo. Meski begitu, penempatan pasal penghinaan haruslah tepat. “Pasal tersebut harusnya jangan penghinaan Presiden, tapi pasal penghinaan biasa saja,” ucapnya.
Tidak menutup kemungkinan pasal ini akan membawa Indonesia kembali ke rezim orde baru. Haris curiga Jokowi tidak membaca 760 pasal yang terdapat dalam raft pengajuan revisi rancangan KUHP. “Dugaan saya ini inisiatiaf Menkumham,” ujarnya.
Alih-alih memasukkan pasal penghinaan Presiden, akan lebih baik jika pemerintah membuat satu rencana kerja terbuka terkait revisi KUHP. Misalnya saja dengan membahasnya secara transparan dan melibatkan pasar.“Kita semua harus tahu bagaimana kontennya, jangan langsung ke DPR,” kata Haris.