REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro menyayangkan putusan DPR yang telah mengesahkan peraturan tentang Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP) dalam sidang paripurna, Selasa (23/6). Padahal menurutnya, jika dana aspirasi memang ingin digunakan untuk masyarakat lokal, seharusnya mekanismenya bisa menggunakan otonomi daerah.
"Semestinya DPR mendorong agar APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) menganggarkan persentase yang cukup untuk daerah. Tidak seperti sekarang, hanya 30 persen," jelas Siti pada ROL, Selasa (23/6). Karena saat ini, lanjutnya, sudah otonomi daerah.
Siti menerangkan otonomi daerah sejatinya dibentuk untuk mensejahterakan masyarakat lokal. "Karena prinsipnya adalah membangun Indonesia dari daerah. Dan kantong-kantong penduduk kita itu kan adanya di daerah," tambahnya.
Jadi, jika tujuan dana aspirasi adalah untuk mengembangun daerah pemilih, Siti menilai, mengapa tidak dilakukan di 180 daerah di Indonesia yang masih tertinggal. Putusan DPR, menurutnya, adalah ironi.
Hal ini karena ketika banyak daerah yang masih tertinggal. Namun, lahir pengelolaan dana atas nama masyarakat lokal dan pengelolaannya dilakukan langsung oleh anggota DPR.
Sebelumnya, dalam sidang paripurna yang dipimpin Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah, pengambilan keputusan memang dihujani interupsi penolakan soal aturan yang sudah dibahas di panitia kerja Badan Legislasi (Baleg) DPR. Fahri mengatakan, soal penolakan atau masukan atas peraturan UP2DP ini dapat dilakukan setelah aturan ini disepakati di paripurna. Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini mengatakan, masukan dari fraksi yang tidak setuju dapat dibahas di tim UP2DP. Selain itu, aturan ini juga masih membutuhkan masukan dari masyarakat.