REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Donald Fariz mengatakan surat edaran yang diterbitkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) salah arti. Donald menilai surat tersebut justru memutarbalikan arti petahana yang sudah diatur dalam Undang Undang Pilkada.
"Ini akan menjadikan polemik baru mengenai legalitas siapa yang boleh mencalonkan diri di pilkada," Donald di kantor ICW, Senin (21/6).
Donald menilai apa yang dilakukan KPU dalam mendefinisikan petahana terlalu buru-buru. Menurut dia, seharusnya KPU menunggu hasil keputusan Mahkamah Konstitusi yang sedang menguji masalah tersebut.
ICW mengimbau agar KPU segera menarik kembali surat edaran yang sudah dikeluarkan. Selain itu, ICW juga mendesak kepada pemerintah terutama Kementerian Dalam Negeri untuk menolak pengunduran diri kepala daerah dan mendorong Mahkamah Konstitusi untuk mempercepat proses persidangan terkait pengujian calon kepala daerah yang tidak boleh memiliki kepentingan dengan petahana.
"Bila terdapat indikasi sedikit saja bahwa pengunduran diri berkaitan dengan kepentingan pencalonan yang bertujuan untuk menghindari pengaturan konflik kepentingan dengan petahana, maka harus ditolak," tutup Donald.
Sebelumnya, KPU menerbitkan Surat Edaran KPU Nomor 302/KPU/VI/2015. Surat tersebut dinilai berpeluang besar memandulkan batasan praktik dinasti politik di daerah.