REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR RI, Bambang Soesatyo mengkritik perbedaan sikap antara Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wapres Jusuf Kalla (JK) soal rencana revisi UU 30/2002 tentang KPK. Sebab, berbedaan pendapat di antara pelaksana pemerintahan bukan kali ini saja terjadi.
Dalam catatan Bambang, selain persoalan KPK, baru-baru ini Jokowi dan JK juga punya sikap berbeda soal pembekuan PSSI yang dilakukan Menteri Pemuda dan Olahraga, Imam Nahrowi. "Inikan memalukan," kata Bambang lewat pesan singkatnya, Ahad (21/6).
Bambang pun menyarakankan agar Jokowi mengingatkan para menterinya. "Agar presiden tidak dinilai mencla-mencle sebaiknya mengingatkan lagi para menteri untuk tidak berbuat konyol dengan agenda masing-masing," ujar Bambang.
Politikus dari partai Golkar itu mengatakan, aksi tak satu suara Presiden Jokowi dan Wapres JK soal rencana revisi UU KPK adalah bukti tak kompaknya pejabat. Manajemen yang berantakan, kata dia, menunjukkan ketidakmampuan Jokowi mengendalikan bawahannya. "Silang pendapat tentang KPK menjadi bukti masih amburadulnya manajemen pemerintahan Jokowi," katanya.
Seperti diketahui, DPR bersama pemerintah berencana merombak UU KPK. Namun, wacana itu ditanggapi terbelah oleh pemerintah sendiri. Jokowi menyatakan agar tak perlu mengubah regulasi tentang tugas dan fungsi lembaga antirasuah itu. Sebaliknya, JK mengatakan perlu agar KPK diberikan batasan kewenangan dalam menjalankan fungsinya.
Dua pandangan yang berseberangan itu pun menurun ke para menteri. Menteri Hukum dan HAM sebagai salah satu inisiator perubahan UU KPK mendukung amandemen. Pendapat yang sama juga dinyatakan Jaksaan Agung.
Sementara, Menteri Koordinator bidang Polkam, Tedjo Edhy Purdijatno menolak revisian tersebut. "Ibarat mengemudikan mobil, masing-masing dari arah berlawanan, Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla selalu bertabrakan," ujar Bambang.
Menurut Bambang, beda pendapat itu memang bukan hal tabu. Tapi, jika menyangkut sikap pemerintah terkait satu hal, maka akan banyak kesimpulan negatif dari mayarakat tentang bukti tak sinkronnya program kerja presiden dan para pembantunya. Seakan lemahnya presiden membuat para pembantunya punya agenda sendiri-sendiri.
Padahal, kata dia, setiap hal rencana kerja pemerintahan diharuskan dibahas bersama presiden, yang selanjutnya mendapat persetujuan presiden untuk dilaksanakan.