REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para pelaku korupsi maupun kejahatan lainnya kerap melarikan hasil kejahatannya ke luar negeri. Bahkan mereka tak segan mengalihkan aset atau hasil mereka berupa investasi saham dan melakukan pengalihan kepemilikan ke pihak lain. Tentu bukan pekerjaan mudah bagi penegak hukum untuk melacak maupun mencegah hal itu terjadi.
Menurut Chuck Suryosumpeno dari National Contact Point CARIN (Camden Asset Recovery Interagency Network) menyarankan agar sistem dan pola kerja para pelaksana penegakan hukum di Indonesia diperbarui. Hal tersebut perlu dilakukan mengingat kejahatan dari ke hari makin canggih dan kompleks.
"Pada zaman dulu, barang bukti atau aset hasil kejahatan masih tergolong konvensional, para pelaku kejahatan biasanya menginvestasikan uang hasil kejahatannya pada benda-benda kasat mata, antara lain mobil, emas, perhiasan atau properti," kata Chuck di Jakarta, Jumat (19/6).
Ke depannya, lanjut Chuck, pelaku kejahatan akan menggunakan uangnya untuk membeli saham atau menyimpannya dalam bentuk virtual di negara-negara lain. "Di Eropa bahkan sedang menjadi tren para pelaku kejahatan menyimpan asetnya dalam bentuk air mani kuda balap yang harganya jutaan dolar. Sudah pasti proses pencariannya tentu akan tidak mudah lagi," terangnya.
Chuck menambahkan, sudah saatnya, negara menyelenggarakan pelayanan penegakkan hukum yang optimal. Penegakkan hukum model tersebut merupakan kondisi di mana aparat tidak hanya mampu menangkap dan menghukum pelaku kejahatan, tetapi juga sanggup mengembalikan aset seutuhnya kepada korban kejahatan tersebut. "Penegakkan hukum model ini yang diyakini akan membuat para pelaku kejahatan terkait aset atau harta menjadi jera. Inilah penegakkan hukum di era rezim pemulihan aset," ujarnya.
Fakta bahwa penegak hukum Indonesia selama ini dalam menangani kejahatan cenderung terlalu fokus pada pelakunya, sedangkan aset terkait kejahatan tersebut kurang diperhatikan. Apalagi penyembunyian aset dan hasil kejahatan ke luar negeri, merupakan fenomena kejahatan antarnegara (cross border crime) harus mendapat respon dan reaksi institusi penegak hukum di Indonesia. "Rezim pemulihan aset juga menuntut para penegak hukum melaksanaan prinsip good governance di bidang pemulihan aset di Indonesia" imbuhnya.
Dia menjelaskan, tuntutan yang akan dihadapi penegak hukum dalam rangka pemulihan aset itu menyangkut beberapa poin. Pertama, memastikan pemulihan aset berjalan baik di tingkat nasional. Kedua, melayani pemulihan aset antarnegara. Ketiga, memulihkan aset yang terlantar atau yang dikuasai pihak lain. Itu semua harus dilaksanakan secara efektif, efisien, transparan, dan akuntabel. "Kalau hal di atas belum dilaksanakan, berarti pemulihan aset belum menjadi fokus utama para penegak hukum di Indonesia," jelasnya.
Chuck pun bersedia memfasilitasi pemulihan aset melalui CARIN, bermarkas di Belanda, merupakan organisasi informal yang terdiri para ahli dan praktisi pemulihan aset di seluruh dunia. "CARIN didukung sepenuhnya oleh Europol."