Selasa 05 May 2015 20:26 WIB

Revisi UU Pilkada dan Pemilu Berbahaya?

Pekerja mengikuti simulasi pemungutan dan penghitungan suara TPS dalam pemilihan kepada daerah (Pilkada) serentak, di Gedung Komisi Pemilihan Umum, Jakarta, Selasa (7/4).
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Pekerja mengikuti simulasi pemungutan dan penghitungan suara TPS dalam pemilihan kepada daerah (Pilkada) serentak, di Gedung Komisi Pemilihan Umum, Jakarta, Selasa (7/4).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Pengamat politik dari berbagai lembaga menilai wacana DPR untuk merevisi Undang-Undang Partai Politik dan UU Pilkada akan jadi contoh yang berbahaya bagi Alat Kelengkapan Dewan lainnya untuk mengakomodir kepentingan pribadi dalam aturan yang sah.

"Wacana revisi tersebut tidak lepas dari usaha DPR untuk meloloskan kepentingan politik ke dalam undang-undang. Itu adalah preseden buruk yang dapat ditiru komisi dan alat kelengkapan dewan di DPR untuk melakukan hal serupa dalam mengakomodir kepentingannya dalam aturan sah," kata Direktur Indonesia Parliament Centre (IPC) Sulastio, setelah diskusi Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pilkada, di Jakarta, Selasa.

Sulastio menjelaskan wacana tersebut muncul lantaran DPR tidak puas dengan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) yang menyatakan akan mengacu pada SK Menkumham dalam menetapkan siapa yang bisa menjadi peserta Pilkada.

Ia mengingatkan bahwa revisi UU Parpol dan UU Pilkada tidak termasuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas), sehingga kalau dipaksakan akan menjadi preseden.

Dia mengungkapkan dari 37 Prolegnas prioritas untuk tahun ini, Komisi II baru menyelesaikan dua yaitu UU Pilkada dan Pemda.

"Ini jadi masalah kepatutan juga. Ada UU yang belum dibahas, ini malah mau ada revisi undang-undang baru. Padahal harus ada alasan kuat kalau ada undang-undang yang mau dibahas di luar Prolegnas," katanya.

Sementara itu, peneliti dari Perhimpunan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil menyebut bahwa wacana revisi tersebut sebagai upaya penyelundupan pasal demi kepentingan politik tertentu.

Komisi II DPR merekomendasikan kepada KPU, apabila hingga pendaftaran peserta pilkada pada 26-28 Juli berakhir dan belum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht), maka partai yang sedang bersengketa dapat menggunakan putusan pengadilan terakhir pada saat itu.

Putusan yang berkekuatan hukum tetap baru akan digunakan pada pilkada periode selanjutnya. Namun, dalam draf peraturan KPU yang telah disetujui, KPU tidak mengakomodir usulan Komisi II DPR tersebut karena mereka berpedoman bahwa partai bersengketa dan ingin mengikuti pilkada harus memiliki putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Karena tidak diakomodirnya rekomendasi DPR itu, maka muncul wacana merevisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah.

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement