Jumat 24 Apr 2015 11:00 WIB
Konferensi Asia Afrika 2015

Kerja Sama Ekonomi Antarnegara Asia-Afrika Didorong Intensif

Rep: Sonia Fitri/ Red: Satya Festiani
 Presiden Joko Widodo(tengah) serta Ketua DPR RI, Setya Novanto (ketiga kiri) bersama delegasi peserta Konferensi Parlemen Asia Afrika berfoto bersama saat pembukaan Konferensi Parlemen Asia-Afrika di Jakarta, Kamis (23/4).  (Republika/Agung Supriyanto)
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Presiden Joko Widodo(tengah) serta Ketua DPR RI, Setya Novanto (ketiga kiri) bersama delegasi peserta Konferensi Parlemen Asia Afrika berfoto bersama saat pembukaan Konferensi Parlemen Asia-Afrika di Jakarta, Kamis (23/4). (Republika/Agung Supriyanto)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Penelitian Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menyebut, di usia penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika (KAA) yang telah menginjak 60 tahun, sudah saatnya Indonesia mengintensifkan kerjasama ekonomi tidak hanya dengan negara-negara Asia, tetapi khususnya dengan negara-

negara Afrika.

"Selama ini pemanfaatan forum negara-negara Asia-Afrika oleh Indonesia untuk kerjasama perdagangan dan investasi dengan Afrika masih sangat minimal," kata dia dalam rilis pada Kamis (23/4).

Ia pun menyinggung soal Asia Afrika Summit pada 2005 yang kemudian menghasilkan New Asia Africa Strategic Partnership (NAASP) dan meliputi kerja sama di berbagai bidang. Ia nyatanya belum tampak menghasilkan sesuatu yang produktif terutama di bidang ekonomi. Makanya, Sebagai negara pemrakarsa KAA dengan status salah satu perekonomian terbesar di dunia, semestinya Indonesia mampu memanfaatkan peran yang lebih besar dalam perdagangan dengan negara-negara Afrika.

Ironisnya, lanjut dia, saat ini justru Tiongkok yang banyak memanfaatkan potensi ekonomi negara-negara di kawasan tersebut. Berdasarka  data CORE, dari 245 miliar dolar AS nilai ekspor negara-negara Asia ke Afrika pada 2014, 43 persennya berasal dari Tiongkok, disusul India dan Korea masing-masing sebesar 14 persen dan 6 persen. Sementara, pangsa pasar Indonesia hanya satu persen dengan nilai 2,4 miliar dolar AS.

Jenis produk yang diekspor Indonesia pun masih sangat terbatas, di mana 40 persennya adalah crude palm oil (CPO). Sedangkan Afrika yang memiliki populasi lebih dari satu milyar jiwa semestinya dapat menjadi pasar yang sangat potensial bagi produk-produk ekspor Indonesia. Beberapa negara di kawasan tersebut pun mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi dalam beberapa tahun terakhir.

Pelemahan ekonomi di kawasan Amerika dan Eropa, lanjut dia, semestinya menjadi kesempatan bagi eksportir Indonesia memperluas pasarnya ke kawasan Afrika yang terus mengalami pertumbuhan. "Low cost green car atau LCGC yang menjadi produk manufaktur andalan baru Indonesia, semestinya sangat cocok dengan kebutuhan negara-negara berpenghasilan menengah-rendah yang sangat banyak terdapat di Afrika," tuturnya.

Beberapa produk ekspor andalan lain yang juga bisa ditingkatkan pangsa pasarnya ke Afrika antara lain tekstil, alas kaki, kendaraan, kertas, elektronika, CPO dan produk turunannya.

Dari sisi investasi, minimnya investasi yang mengalir ke kawasan Afrika juga menjadi salah satu penyebab lambannya pembangunan ekonomi dan pengentasan kemiskinan di benua tersebut. Investasi langsung yang mengalir ke Afrika pada 2013, misalnya, hanya 4 persen dari total investasi langsung dunia, sementara yang mengalir ke Asia mencapai 29 persen dari total investasi global.

"Selama ini, negara-negara Eropa masih jadi investor utama di kawasan tersebut dengan kontribusi sebesar 37 persen dari total proyek pada 2013," lanjutnya. Posisi tersebut disusul negara-negara Timur Tengah yang mencapai 22,8 persen. India, Tiongkok dan Jepang merupakan negara-negara Asia yang cukup banyak melakukan investasi ke benua tersebut dengan kontribusi sebesar 12,6 persen.

Adapun bidang investasi yang menjadi incaran negara negara investor terutama pada sektor energi (batubara, minyak dan gas), pertambangan dan metal. Dari Indonesia sendiri, beberapa investor telah hadir di Afrika di sektor migas, makanan dan obat-obatan, namun jumlahnya sangat kecil dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya seperti Jepang, Tiongkok dan India.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement