REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dua rombongan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bidang sosial dan lingkungan, yakni Yayasan Perspektif Baru (YPB) dan Kemitraan mengunjungi kantor redaksi Republika guna berdialog masalah lingkungan, lebih spesifik menyoal hasil kajian mereka soal kebijakan moratorium hutan yang digulirkan pemerintah.
“Kita juga sekaligus ingin mensosialisasikan hasil ini agar nanti menggulirkan sejumlah rekomendasi, utamanya perpanjangan moratorium dengan ketentuan baru yang lebih ketat,” kata ketua Yayasan Perspektif Baru Hayat Mansur kepada redaksi Republika pada Rabu (22/4).
Dikatakannya, kebijakan pemerintah soal moratorium hutan telah berlaku hingga 3,7 tahun dan akan berakhir pada 13 Mei 2015 mendatang. Maka, memperhatikan efektivitas keberjalanannya selama ini, ditarik kesimpulan di antaranya terdapat hal kontradiktif dengan semangat penjagaan hutan alam. Sehingga moratorium perlu diperpanjang dengan sejumlah pengetatan aturan.
Lebih lanjut, Program Manager Economic and Environmental Governance Kemitraan Hasbi Berliani menjelaskan, bijakan yang terlahir dengan diiringi janji kepada dunia internasional untuk menurunkan emisi gas rumah kaca hingga 26-41 persen hingga 2020 nyatanya belum cukup punya gigi untuk melindungi hutan alam dari konsesi.
Pada 2011, kata dia, dikeluarkan instruksi presiden (Inpres) No 10/2011 tentang penundaan izin baru di hutan primer dan lahan gambut serta perbaikan tata kelola sektor kehutanan. Selang dua tahun, moratorium diperpanjang melalui Inpres No 6/2013 di mana inpres difokuskan untuk memberi memberi waktu bagi hutan untuk bernafas dan menahan konversi hutan sehingga bisa efektif menurunkan emisi gas rumah kaca.