REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mengacu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), sepertinya pembentukannya berlangsung secara. Sayangnya, dalam beberapa kali pergantian pimpinan KPK, hasilnya masih menimbulkan beragam penilaian. Timbul pro dan kontra di banyak lapisan masyarakat.
Mantan kepala Polda Jawa Barat Irjen (Purn) Edi Darnadi menyatakan, kinerja pimpinan KPK ada yang dinilai berhasil, tidak sedikit yang menganggap biasa saja. Bahkan, pihak yang lebih rasional memperbandingkan 'ongkos' operasional KPK dalam pemberantasan korupsi berbanding Polri dan Kejaksaan Agung.
Hanya saja, kata dia, berdirinya KPK merupakan kesepakatan sebuah elemen bangsa untuk bertindak dalam pemberantasan korupsi. Yang menjadi pertanyaan, sebenarnya siapa target pelaku pengkorup uang negara atau kebijakan yang merugikan publik yang akan mereka sikat?
"Jawabannya pasti yang dominan, yakni oknum unsur penyelenggara negara. Baik di tingkat pusat maupun daerah. Namun, yang paling dominan sampai saat ini terungkap adalah oknum-oknum eksekutif atau birokrasi," katanya kepada wartawan, kemarin
Jika demikian skema kinerja KPK saat ini, menurut Edi, sesungguhnya kita bisa dengan mudah menemukan benang merah hubungan antara rakyat, uang negara, korupsi, KPK, dan koruptor. Maksudnya, simpul kekuatan moralnya berada di tangan presiden yang saat ini dijawab Jokowi.
Kalau mau jujur, lanjut dia, dengan menjadikan presiden sekaligus menjadi Ketua KPK, entah ex officio atau menggunakan istilah lain, sesungguhnya hal itu sudah dapat dikatakan berhasil lebih 80 persen dalam upaya pemberantasan korupsi. Pertanyaan selanjutnya, mengapa?
"Karena presiden yang juga kepala negara dan kepala pemerintahan jika sekaligus bisa menjerat kinerja anak buahnya yang salah seperti layaknya KPK maka itu sudah lebih maksimal berbanding kinerja ketua KPK sebelum-sebelumnya," ujarnya.
Sebenarnya, kata dia, presiden yang paling berkepentingan untuk menjaga keberhasilan pemerintahannya sebab nyaris 75 persen yang dikorupsi selama ini adalah uang negara. Kekayaan tersebut seharusnya bisa digerakkan oresiden untuk mensejahterakan rakyatnya.
Memang bisa jadi ada pemikiran oresiden akan memanfaatkan KPK untuk mengamankan 'serangan' politik kepadanya. "Itu tidak bisa dipungkiri," katanya. Tetapi, itu sesungguhnya tidak mudah terjadi. Pasalnya, ketika presiden menjadi ketua KPK tentu wajib bekerja secara kolektif kolegial bersama empat wakil ketua. Mereka itu sebaiknya berasal dari unsur kepolisian, kejaksaan, dan TNI yang aktif minimal berbintang dua.