REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Bali Nine mulai berani buka suara ke hadapan publik. Sembilan orang asal Australia dalam sindikat peredaran narkotika itu menyayangkan keputusan pemerintah Indonesia yang menghukum mati Andrew Chan dan Myu Sukumaran, dua pentolan gembong narkoba itu. Keputusan Presiden Jokowi untuk tidak memberi grasi kepada semua terpidana Bali Nine, juga dikecewakan.
Salah satu anggota Bali Nine, Martin Stephens (39 tahun) menyebut bahwa keputusan Presiden Joko Widodo menolak grasi telah menghancurkan masa depan. Terlebih, bagi para napi yang tengah dalam kasus serupa, narkotika.
"Bahwa kebijakan baru Jokowi (Presiden RI) telah menghancurkan sebuah harapan," katanya dalam sebuah surat kepada suratkabar Australia, dilansir Guardian, Senin (2/3).
Stephens sendiri dihukum seumur hidup di penjara Malang Jawa Timur setelah sebelumnya menjadi pesakitan di Lapas Kerobokan sejak ditangkap pada 2005. Kendati demikian, vonis penjara seumur hidup juga telah membuatnya kehilangan harapan.
"Lebih manusiawi jika mereka (pemerintah Indonesia, Red) membawa saya keluar dan menembak saya dari belakang, seperti Andrew dan Myuran," kata dia.
Penjara seuur hidup membuatnya sedih tidak bisa menemani istrinya, Christine Puspayanti, yang dinikahinya saat di penjara Kerobokan. Kendati demikian, ia pun merasa telah kehilangan takdirnya. "Bisa saja saya juga dibawa ke Nusakambangan dan ditembak di jantung. Itu pikiran menakutkan, "tulisnya.
Stephens berasal dari Wollongong dan berperan sebagai anak buah dalam sindikat Bali Nine. Dia saat ini dikurung di Malang, Jawa Timur. Dia juga pindah ke Kristen di penjara pada 2011 dan telah menikah dengan Christine Puspayanti, seorang wanita kelompok gereja yang setia mengunjunginya saat masih berada di Lapas Kerobokan.