Selasa 03 Feb 2015 11:13 WIB

Sekolah Perempuan Desa Embrio Politikus Wanita

Politikus perempuan.
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Politikus perempuan.

REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK -- Beberapa aktivis hak asasi perempuan berbondong-bondong berjuang mendirikan komunitas. Kelompok itu bernama Sekolah Perempuan Desa, murid dari sekolah ini adalah para ibu rumah tangga yang ingin mengenyam pendidikan ilmu politik secara gratis.

Melalui tempat ini, benih atau embrio para politikus berpotensi muncul dari kaum perempuan desa yang biasa memegang pisau dan sayuran. Mereka dibina, kemudian dipercaya oleh masyarakat memimpin negara atau menjalankan fungsi sebagai aparatur penyelenggara negara.

Para aktivis ini menamakan dengan sebutan sekolah agar para ibu rumah tangga di desa merasakan mendapat pendidikan secara serius walaupun sebenarnya hanya berbagi ilmu melalui perkumpulan.

"Kami mengabdikan diri untuk mengajarkan seluk-beluk ilmu politik kepada ibu rumah tangga di desa-desa agar mereka peduli terhadap negara," kata Salma Safitri, pendiri Sekolah Perempuan Desa, ketika menghadiri acara diskusi politik di Universitas Indonesia (UI).

Sekolah Perempuan Desa awalnya berdiri di Kota Batu, Jawa Timur, kemudian bekerja sama dengan aktivis kota lain untuk mengembangkan di daerah selain dalam Provinsi Jatim.

Nama resmi dari sekolah yang dibentuk para aktivis wanita itu adalah Villages Women Learning Center atau Pusat Studi Perempuan Perdesaan, beralamat di Jalan Flamboyan, Kelurahan Songgokerto, Kota Batu. Sekolah ini berdiri pada bulan Agustus 2013 yang awalnya bekerja sama dengan ibu PKK di wilayah sekitar.

"Saya awalnya hanya mengajak ibu PKK untuk berkumpul mengadakan kegiatan, tiba-tiba banyak teman yang memiliki pandangan visi dan misi dengan saya terkait dengan nasib perempuan desa di sudut pandang politik," kata Safitri.

Salma mengatakan bahwa sebagai aktivis hak asasi wanita, sudah seharusnya perempuan mendapat kedudukan yang sama dalam dunia politik.

"Awal saya dirikan di daerah Batu karena di sana banyak ibu rumah tangga yang menganggur dan sering dimanfaatkan politikus sebagai penambah suara ketika pemilihan kepala daerah (pilkada) atau pemilu," kata Safitri sembari memperlihatkan foto-foto keadaan desa Kota Batu.

Hingga saat ini, kata dia, masih relatif banyak yang meremehkan kemampuan wanita dalam dunia politik, apalagi yang berasal dari daerah.

Melalui pendidikan politik ini, dia berharap agar masyarakat perdesaan, khususnya para ibu rumah tangga, tidak acuh terhadap keadaan pemerintah Indonesia. "Dahulu, saya sering mengundang para calon anggota DPRD, bahkan tim sukses wali kota untuk berbagi ilmu bersama di Sekolah Perempuan Desa," tuturnya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement