REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Institut Riset Kepemiluan (Electoral Research Institute/ERI) Ramlan Surbakti mengatakan perlunya pemahaman bersama dari para pemangku kepentingan mengenai pemilu serentak. Sehingga memudahkan proses pembuatan produk hukum terkait hal itu.
"Pemahaman pemerintah, DPR, DPD dan penyelenggara pemilu harus disamakan untuk memudahkan proses pembuatan produk hukum Pemilu Serentak 2019," kata Ramlan di Jakarta, Senin (2/2).
Ia mengatakan, setidaknya ada dua undang-undang yang harus dibuat sebagai dasar pelaksanaan pemilu serentak. Yakni Undang-Undang Pemilu Serentak Nasional dan Perubahan Undang-Undang Pemilihan Umum Kepala Daerah menjadi Pemilu Lokal Serentak Tingkat Provinsi.
Pemilu serentak lokal, kata dia, memerlukan jeda waktu sekitar dua atau tiga tahun setelah pemilu serentak nasional agar penyelenggaraannya tersebut mudah dikelola.
Selain itu, ujar dia, adanya jeda waktu juga memudahkan koordinasi pelaksanaan kebijakan pemerintah pusat dan daerah.
Ia juga mengusulkan sistem pemilu legislatif yang yang digunakan sebaiknya adalah sistem proporsional dengan daftar tertutup. Sehingga tercipta hubungan yang harmonis antara eksekutif dan legislatif.
ERI merekomendasikan pada pemangku kepentingan untuk memisahkan pemilu serentak nasional dan dan lokal agar meningkatkan kualitas hasil pilihan rakyat.
Dengan pemisahan pemilu serentak, perhatian pemilih tidak terpecah pada pilihan yang banyak dalam waktu yang terbatas di bilik suara.
Berdasarkan penelitian ERI, pemisahan pemilu serentak juga meningkatkan efektivitas pemerintah. Karena keterpilihan calon presiden dari parpol akan mempengaruhi calon anggota legislatif dari parpol tersebut sehingga menghasilkan pemerintahan yang stabil.