Selasa 13 Jan 2015 16:46 WIB
Air Asia QZ8501

Hampir Dua Pekan, Ini yang Tersisa dari Jenazah Penumpang QZ8501

Rep: c 74/ Red: Indah Wulandari
Personil militer mengangkut peti jenazah korban Air Asia QZ 8501 yang tiba di Surabaya untuk diidentifikasi, Jumat (2/1).
Foto: Reuters
Personil militer mengangkut peti jenazah korban Air Asia QZ 8501 yang tiba di Surabaya untuk diidentifikasi, Jumat (2/1).

REPUBLIKA.CO.ID,SURABAYA -- Kondisi jasad penumpang pesawat Air Asia QZ8501 setelah hampir dua pekan semakin sulit diidentifikasi.

"Yang ada sisanya rambut, gigi, tulang. Karena kadar tinggi itu masuk ke tiap pori-pori," kata ahli patologi forensik Rumah Sakit Dr Soetomo Surabaya dr Sukri Irfan Kusuma di Mapolda Jawa Timur, Selasa (13/1).

Dr  Sukri mengatakan, kondisi jenazah terkait dengan kandungan kimia di dalam laut. Air laut  mengandung kadar NHCL yang tinggi antara 3 sampai 6 persen. Sementara, tubuh manusia hanya mengandung 0,9 persen NHCL.

“Kadar NHCL yang tinggi tersebut yang merusak jaringan lunak di tubuh manusia. Sehingga sidik jari sulit teridentifikasi,” ujarnya.

Namun, dr Sukri memastikan, sampai saat ini semua ilmuwan masih bekerja. Para ahli gigi, sidik jari, kedokteran forensik, antropologi forensik, ahli properti, dan ahli deoxyribo-nucleic acid (DNA) terus mengumpulkan data-data postmortem.

Data-data postmortem yang diambil oleh para ahli disesuaikan dengan data antemortem. Data antemortem yang bisa dikumpulkan, misalnya ciri khusus tubuh, berat badan, tinggi badan, tato, gigi behel, tindik, bekas operasi, penanaman pen pada tulang, dan properti yang dikenakan korban sebelum meninggal.

Lalu para ahli merekonsiliasi data yang mereka dapat untuk membandingkan data antemortem dengan post mortem. Jika cocok, maka jenazah teridentifikasi.

Dr Sukri menjelaskan, DVI memiliki dua metode dalam identifikasi. Yang pertama ialah metode primer yang merupakan pencocokan data sidik jari, sidik gigi, dan DNA. Kemudian yang kedua adalah metode sekunder yaitu pencocokan data medis dan properti.

Dalam sidang rekonsiliasi, para ilmuwan harus mengajukan argumentasi supaya identifikasi menjadi kuat. Kalau argumentasinya lemah, maka identifikasinya lemah.

Saat ini, lanjut Dr. Sukri, data ante mortem sangat membantu. Selama ini pengetahuan tentang properti yang dikenakan jenazah berdasarkan keterangan keluarga sangat membantu.

"Keluarga diperlihatkan CCTV lalu mereka mengenali keluarga mereka, ini mbakyuku, ini ibuku, nah bajunya dicocokkan dengan jenazah," jelas Sukri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement