Senin 22 Dec 2014 02:20 WIB

ICW: Sektor SDA Masih Jadi 'Lahan Basah' Praktik Korupsi

Rep: Ahmad Islamy Jamil/ Red: Bayu Hermawan
ICW
ICW

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai sektor sumber daya alam (SDA) masih menjadi 'lahan basah' praktik korupsi. Hal tersebut bukan hanya dikarenakan melimpahnya ketersediaan SDA di negeri ini, melainkan juga lantaran rentang kendali pengawasan yang terlalu jauh dan lemah.

"Selain itu, luasnya diskresi yang dimiliki menteri dan atau kepala daerah terkait dalam pengelolaan SDA di daerahnya, termasuk soal penerbitan izin, juga ikut menumbuhsuburkan praktik korupsi di sektor ini," ujar peneliti ICW, Emerson Yuntho, di Jakarta, Ahad (21/12).

Menurutnya kondisi tersebut telah 'diamini' oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pada tahun ini, kata Emerson, lembaga superbody itu pernah melakukan studi Kerentanan Korupsi Dalam Perizinan di Sektor SDA.

Hasil kajian itu menegaskan adanya praktik korupsi dalam pengelolaan SDA, yakni dengan menemukan celah korupsi dan biaya transaksi tinggi atau informal pada hampir seluruh bisnis proses pengelolaan SDA.

"Transaksi yang dilakukan bisa mencapai belasan juta hingga bahkan miliaran rupiah. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh banyaknya kebijakan atau regulasi disektor SDA yang membuka peluang terjadinya korupsi," jelasnya.

Di samping itu, kajian Corruption Impact Assesment yang dilakukan KPK (2014) terhadap regulasi perizinan kehutanan pun mengungkap adanya serangkaian potensi korupsi dalam tata kelola pengusahaan kehutanan. Celah korupsi tersebut terdapat pada semua titik proses, dari hulu hingga hilir.

Mulai dari proses perizinan, penyiapan kawasan, hingga proses pengawasan dan evaluasinya.Tak hanya itu, kajian KPK itu juga mengungkapkan bahwa potensi korupsi di sektor SDA muncul lantaran regulasi yang mengatur persoalan tersebut memang membuka kesempatan untuk bagi para pejabat untuk berlaku korup.

Untuk itu, KPK telah merekomendasikan agar dilakukan revisi terhadap setidaknya 13 regulasi di lingkup Kementerian Kehutanan dan Kementerian Perdagangan.Emerson menambahkan, fenomena serupa juga terjadi pada regulasi tingkat daerah.

Emerson menambahkan potensi terjadinya korupsi melalui proses legislasi regulasi tingkat daerah sangat mungkin terjadi mengingat proses pengawasan dan evaluasi yang sulit dilakukan.

"Jumlah regulasi tingkat daerah sangat banyak jumlahnya, tak sebanding dengan SDM Kementerian Dalam Negeri yang berwenang melakukan evaluasi perda-perda tersebut. Alhasil, banyak perda 'bermasalah' luput dari perhatian dan terus diberlakukan di daerah masing-masing," jelasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement