Senin 22 Dec 2014 01:19 WIB

Dusun Mati itu Bernama Jemblung

Rep: C67/ Red: Bayu Hermawan
   Sejumlah personel SAR dan TAGANA, mengevakuasi korban longsor di Dusun Jemblung, Desa Sampang, Kecamatan Karangkobar, Banjarnegara, Jateng, Sabtu (13/12). (Antara/Idhad Zakaria)
Sejumlah personel SAR dan TAGANA, mengevakuasi korban longsor di Dusun Jemblung, Desa Sampang, Kecamatan Karangkobar, Banjarnegara, Jateng, Sabtu (13/12). (Antara/Idhad Zakaria)

REPUBLIKA.CO.ID, BANJARNEGARA -- Proses evakuasi korban longsor di Kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, resmi dihentikan pada Ahad (21/12). Meski penangganan pancabencana sudah mulai beralih ke penangganan pengungsi dan relokasi, namun warga masih mengingat jelas saat longsor terjadi.

Salah satu warga yang masih trauma adalah Wahno (37), warga Dusun Jemblung, Desa Sampang, Kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Ia menceritakan saat longsor terjadi pada Jumat (12/12) petang, ia tengah menonton televisi bersama anaknya yang berumur 10 tahun dan Istrinya.

Menurutnya saat itu tidak ada tanda-tanda bahwa longsor akan terjadi. Ia bersama istrinya dan dua anaknya berhasil menyelamatkan diri dari kejaran tanah yang menimbun dusunnya.

"Waktu itu saya, istri, dua anak saya berhasil lari. Larinya sendiri-sendiri tapi tetap bersamaan," kata Wahno saat republika menemui di tempat pengungsian, Jumat (19/12).

Ia bercerita bahwa longsor berlangsung sangat cepat. Saat kejadian, anaknya yang berumur 16 tahun sedang bermain di luar rumah namun berhasil melarikan diri dan Wahno bersyukur keluarganya utuh.

Rumah Wahno yang terletak cukup dekat dengan jalan raya juga hancur diterjang tanah yang bergerak cepat dari atas bukit. Teriakan dari warga yang terjebak dan masih hidup terngiyang-ngiyang di pikiran Wahno.

"Jadi kejadiannya cepat sekali gak sampai dua menit longsor dusun kami sudah gak ada," katanya.

Saat ia berhasil melarikan diri bersama istri dan kedua anaknya. Suara teriakan meminta tolong terdengar dari rumah yang selamat dari terjangan longsor. Waktu itu, jarak Wahno dengan rumah itu sekitar 50 meter.

Karena teriakan itu, rasa kemanusiaan Wahno datang secara spontan. Ia berlari menghampiri asal teriakan dari rumah satu-satunya yang selamat. Ia tidak berpikir bahwa tindakan yang dilakukannya akan sangat berbahaya terhadap keselamatan jiwanya.

Sadar dengan tindakan Wahno yang bisa membahayakan nyawanya. Istri Wahno tidak mengizinkan untuk pergi menolong orang yang sedang berteriak meminta tolong. Namun, Wahno tetap berlari untuk menolongnya.

Teriakan itu orang itu adalah Bawon ibu hamil tujuh bulan. Wahno bersama temannya menolong Bawon yang selamat dari longsor. Ia menjelaskan, pada hari kejadian kondisi cuaca cukup cerah. Hujan deras hanya terjadi pada Rabu dan  Kamis.

"Hari itu cuma gerimis, ya cuaca baguslah," ujarnya.

Menurut Wahno banyak pengguna jalan yang melintas daerah tersebut. Sehingga, mereka terjebak dan ikut tertimbun tanah yang menurut peneliti dari UGM loncatan tanah mencapai 600 meter.

kejadian seperti ini tentu tidak ingin kembali terjadi. Pemerintah daerah akhirnya memutuskan untuk merelokasi warga Dusun Jemblung ke tempat yang aman. Jemblung kini yang menjadi dusun mati akan dijadikan sebagai kawasan konservasi.

Wahno tidak keberatan dengan rencana pemerintah akan merelokasi warga. Meskipun ia harus meninggalkan Dusun Jemblung yang selama ini menjadi tempat tinggalnya bahkan ladang mata pencaharian sehari-hari, Wahni ikhlas.

"Saya harap secepatnya," ucapnya.

Saat ini, Wahno masih menempati di tempat pengungsian. Tinggal ditempat pengungsian tentu membuatnya tidak nyaman. Tinggal ditempat pengungsian membuatnya tidak bisa berbuat banyak.

Peristiwa longsor mendatangkan trauma yang sangat dalam bagi korban maupun keluarga korban. Sartini (22) ibu satu anak itu harus rela kehilangan ayah dan adiknya yang juga ikut tertimbun longsor.

Sejak memiliki suami, Sartini tidak lagi tinggal bersama orang tuanya. Ia bersama suaminya bekerja di luar kota. Mengetahui longsor menimpa dusunnya, ia langsung bergegas pulang.

Saat Republika menyambanginya di pengungsian. Sartini sedang menjalani perawatan dari dokter. Sebab, kondisi fisiknya lemas. Menurut Reza dokter yang menangani bahwa fisiknya yang melemah diakibatkan tingkat stres yang cukup tinggi.

"Susah menghilangkan masa lalu," katanya kepada dokter.

Namun, Sartini tampak mulai bisa tersenyum. Ia bahkan meminta doa kepada dokter dan Republika yang mendatanginya agar bisa melupakan kenangan masalalu bersama keluarganya.

Setelah terjangan longsor yang tak sampai dua menit mengubur rumah dan isinya serta warga yang sedang melintas kini Jemblung menjadi dusun mati. Barangkali kita mesti bertanya mengapa bencana ini datang. Apakah murni kehendak tuhan atau akibat ulah manusia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement