REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait mengatakan tawuran antarpelajar berakar dari kekerasan keluarga yang dipelajari anak dan dipraktekannya kembali pada unit sosial yang lebih besar.
"Tawuran berasal dari daur ulang apa yang dilihat siswa di keluarganya. Keluarga memiliki kontribusi yang besar membangun dan menciptakan kekerasan kalau hal itu yang dilihat dan dirasakan anak," kata Arist di Jakarta, Senin (24/11).
Menurutnya, anak yang mengalami kekerasan di rumah akan membangun kelompok di sekolah untuk melakukan kekerasan pada anak lain, kemudian anak-anak yang bergabung dalam kelompok tersebut akan melakukan kekerasan lagi dengan kelompok dari sekolah lain.
Ia mengatakan jika kekerasan tidak dihentikan dari keluarga, tawuran antarpelajar masih akan terus terjadi.
Untuk itu, katanya, keluarga harus menjadi lingkungan ramah anak dengan mengubah paradigma mendidik dari otoriter menjadi dialogis dan partisipatif untuk anak.
"Keluarga harus mau mengubah paradigma mendidik yang otoriter menjadi yang dialogis dan partisipatif untuk anak, semua masalah anak yang bisa didiskusikan itu didialog kan, tapi dialog yang partisipatif," tuturnya.
Keluarga, katanya, harus dapat menjadi garda terdepan untuk melakukan perlindungan pada anak.
Ia menambahkan, selain keluarga, sekolah juga harus menjadi contoh yang baik bagi anak agar mereka tidak mempelajari dan menerapkan kekerasan.
Sekolah, tuturnya, lebih baik menggunakan pendekatan yang memberikan kesadaran tentang buruknya kekerasan dan bukan hanya menggunakan pendekatan aturan agar siswa tidak melakukan kekerasan karena kesadarannya sendiri, bukan ketakutan pada aturan.
"Sekolah sebaiknya menggunakan pendekaan yang menyadarkan siswa agar tidak melakukan tawuran, bukan menggunakan pendekatan aturan saja," katanya.