REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ihwal wacana pencabutan Undang-Undang No. 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama, Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia Ismail Yusanto menyatakan hal tersebut tidak perlu dilakukan. Seandainya memang perlu direvisi atau diganti, undang-undang penggantinya harus bersifat lebih ketat.
Ismail menjelaskan, berlakunya UU Penodaan Agama saat ini belum dapat membendung kasus-kasus penistaan agama. Tercatat ada kurang lebih 250 aliran sesat yang mencoreng nama agama-agama yang diakui di Indonesia meskipun UU Penodaan Agama sudah diberlakukan. Karena itu, Ismail menyayangkan jika Undang-Undang No. 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Perlindungan Umat Beragama.
Pasalnya, dalam Undang-Undang Perlindungan Umat Beragama akan direvisi terkait pembedaan antara kelompok beragama atau keyakinan dengan kelompok sempalan. Jika nantinya kelompok-kelompok yang telah dianggap sesat dimasukkan dalam kategori kelompok sempalan, maka potensi penodaan agama justru meningkat.
“Seandainya memang perlu direvisi atau diganti, undang-undang yang baru harusnya lebih tegas,” jelas Ismail, Ahad (23/11).