Selasa 11 Nov 2014 12:56 WIB

Mastel Minta Dukungan DPR Terkait Kasus IM2

Petugas melakukan perawatan berkala pemancar Indosat, Jakarta, Senin (23/6).
Foto: Republika/Adhi Wicaksono
Petugas melakukan perawatan berkala pemancar Indosat, Jakarta, Senin (23/6).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masyarakat Telematika Indonesia meminta dukungan Komisi I DPR RI untuk penuntasan kasus IM2 dan pembebasan mantan Dirut IM2 Indar Atmanto terkait dengan adanya upaya kriminalisasi kasus tersebut yang berdampak pada industri ICT secara keseluruhan.

Dengan adanya kasus IM2, kata Ketua Umum Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Setyanto P. Santosa di Jakarta, Selasa (11/11), membuat iklim usaha di bidang ICT menjadi terganggu karena kasus ini telah menciptakan ketidakpastian hukum bagi investor dan pekerja yang bekerja di sektor ini.

"Kami mengharapkan agar DPR memberikan perhatian lebih pada kasus IM2 dan pembebasan Indar dan kami juga minta dukungan kepada Komisi I DPR agar menolak segala bentuk kriminalisasi di bidang TIK," kata Santosa ketika menjelaskan hasil Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) antara Mastel dengan sejumlah pengurus asosiasi telekomunikasi dengan Komisi I DPR RI.

Setyanto mengatakan bahwa sejatinya pengaturan penyelenggaraan bisnis di industri telekomunikasi telah diatur secara detail dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, khususnya di Bab IV yang terdiri atas 36 pasal.

Meski ketentuan dalam bab tersebut yang diikuti dengan berbagai peraturan turunannya telah jelas dan bisa dimengerti dengan baik oleh para pelaku bisnis di bidang telekomunikasi, ternyata bagi aparat penegak hukum dianggap tidak jelas sehingga sering terjadi penafsiran yang berbeda. "Bukti penfasiran berbeda itu terlihat dalam kasus IM2," tegasnya.

Sebelumnya, pada RDPU yang berlangsung pada tanggal 22 Januari 2013, Mastel juga pernah menyampaikan masalah penggunaan jaringan bergerak Indosat oleh jasa internet IM2. Namun, dituduh aparat penegak hukum bahwa IM2 telah menggunakan pita frekuensi 2,1 MHz yang dialokasikan kepada Indosat.

Padahal, kata Setyanto, Menkominfo sebagai penanggung jawab di bidang telekomunikasi menyatakan kerja sama tersebut sah dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku.

"Kasus IM2 ini sangat khas. Kawan-kawan dituduh memakai frekuensi, padahal yang dipakai adalah jaringan. Pada waktu itu di hadapan hakim dan jaksa sudah kami sampaikan secara detail. Bahkan, dengan penjelasan ini pula Menteri Tifatul berani pasang badan karena memang tidak ada pelanggaran yang dilakukan IM2," ujarnya.

Kekhasan lainnya, lanjut Setyanto, terkait dengan perhitungan kerugian negara hasil audit BPKP. Dalam kasus tipikor, putusan MA menetapkan adanya kerugian negara sebesar Rp 1,3 triliun sehingga Indar divonis delapan tahun penjara dan IM2 dihukum harus membayar ganti rugi sebesar Rp 1,3 triliun.

Namun, dalam ranah TUN, MA justru memperkuat putusan PTUN Jakarta pada tingkat kasasi yang memutuskan bahwa audit BPKP yang menjadi dasar perhitungan kerugian negara sebesar Rp 1,3 triliun tidak sah dan memerintahkan BPKP untuk mencabutnya.

"Seharusnya, jika tidak ada kerugian negara, Indar bisa bebas demi hukum. Kami mohon agar kasus ini mendapat perhatian dari anggota Komisi I," tambahnya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement