Kamis 09 Oct 2014 12:19 WIB

Ini Isi Surat Terbuka Indra Piliang untuk Jokowi (4-habis)

Indra Piliang
Foto: Yogi Ardhi
Indra Piliang

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Politikus Partai Golkar, Indra J Piliang membuat surat terbuka untuk presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi). Surat tersebut dimuat di blog pribadinya pada Kamis (9/10) dengan judul Surat Terbuka untuk Jokowi: Tentang Mimpi Generasi Usia 40-an Tahun.

Surat itu ditulis dari beberapa bagian. Pada bagian akhir, Indra menulis mengenai temannya yang bernama Syamsul Hadi PhD yang meninggal dunia mendadak di kediamannya di Kukusan, Depok. 

Indra menduga, ada yang hendak ia sampaikan sebelum kematiannya. Apalagi, ia menjadi saksi ahli dalam sengketa UU tentang Otoritas Jasa Keuangan di Mahkamah Konstitusi.

Berikut bagian keempat dari tulisan Indra tersebut: 

Bapak Joko Widodo (Jokowi) yang saya banggakan

Surat ini harus saya akhiri, karena sebentar lagi pagi datang. Semalam saya sudah melakukan ibadah personal, setelah terbangun oleh anak saya yang tiba-tiba sakit amandel. Saya ternyata tidak bisa tidur lagi dan memutuskan menulis surat terbuka ini. Tapi bukan berarti surat ini tiba-tiba. Ia lahir dari perjalanan saya selama beberapa pekan ini, bertemu dengan kawan segenerasi yang berada di lingkungan mereka masing-masing.

Surat ini juga dipicu oleh kematian mendadak kawan saya, Syamsul Hadi PhD. Dia lulusan terbaik Hosei University, Jepang. Dia pergi ke Jepang tanpa bisa berbahasa Jepang, lalu mencari kampus tanpa ada seorangpun yang mau memberinya rekomendasi, bahkan dari kampusnya sendiri, Universitas Indonesia. Orang yang dikecewakan oleh sistem di dalam negeri, tetapi bisa meraih sukses secara mandiri di negara bekas penjajah. Dia menemui saya usai kembali dari Jepang dan bercerita tentang banyak hal, baik riwayat hidupnya, ataupun pikiran-pikirannya tentang bangsa dan negara ini.

Tepat setelah pemilihan pimpinan DPR RI, dia meninggal dunia, mendadak, di kediamannya di Kukusan, Depok. Dia dimakamkan di kampungnya, Tasikmalaya. Di Kukusan itu juga dia kost sejak mahasiswa. Padahal, dia sehat-sehat saja ketika muncul sebagai saksi ahli dalam sengketa UU tentang Otoritas Jasa Keuangan di Mahkamah Konstitusi belum seminggu. Saya merasa ada yang hendak ia sampaikan, berdasarkan apa yang kami diskusikan sejak mahasiswa. Dan saya tahu, ia memberikan warning yang mungkin bisa dikenali dari pesan-pesan terakhirnya kepada orang-orang terdekatnya.

Kenapa saya sebut nama Syamsul Hadi PhD, Pak? Karena dia satu dari generasi 1990an itu. Ia memilih jalan sunyi, kembali ke dunia kampus, sebagaimana juga banyak dari jenderal-jenderal lapangan aktivis 98 lainnya. Generasi yang merasa sudah menuntaskan kewajiban politiknya, hanya dengan bergerak di lapangan dalam waktu singkat, lalu kembali ke kehidupan biasa yang apatis dan apolitis, sekalipun mereka adalah dosen, peneliti, bankir, pekerja sosial, bahkan mungkin penulis naskah iklan di perusahaan-perusahaan multinasional.

Sekali lagi, warnai kabinet Bapak dengan generasi ini, bukan yang Bapak anggap ada lewat printed leaders yang sudah tertinggal jauh di abad lampau itu. Generasi yang usianya tidak terlalu jauh dengan Bapak, masih bisa berkomunikasi dengan gaya guyon. Saya ingat, Pak, salah satu keberhasilan Schroeder di Jerman dalam mengubah negaranya adalah dengan memanfaatkan tenaga dan pikiran Flower Power Generation 1969 di negaranya. Mereka bisa duduk semeja, lalu berkata: “Baik, kita tidak perlu banyak diskusi lagi. Mimpi kita sama. Pengalaman kita sama. Mari kita ubah negara ini. Kita masing-masing tahu, apa yang kita akan kerjakan. Kalau ada yang sulit untuk diputuskan, baru kita rapat lagi sambil mendengarkan musik ketika kita di jalanan dulu.”

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement