REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kemendagri menyatakan tidak dapat memberikan sanksi kepada Front Pembela Islam (FPI). Karena aksi anarkis saat berunjukrasa menolak pengangkatan Basuki Tjahja Purnama (Ahok) menjadi Gubernur DKI Jakarta bisa ditindaklanjuti sesuai dengan kejenjangannya.
"Larangan yang dilanggar kemarin pasal 59 ayat d yakni tindakan kekerasan. Itu sudah dilanggar, di sanksinya maka semua dilakukan sesuai dengan kejenjangannya. Kalau itu tingkat provinsi dilakukan provinsi," kata Direktur Ketahanan Seni Budaya Agama dan Kemasyarakatan, Direktorat Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kemendagri, Budi Prasetyo di Jakarta, Rabu (8/10).
Menurutnya, jika tindakan anarkis tersebut melibatkan FPI pusat maka kemendagri dapat melakukan tindakan lebih lanjut. Buktinya, FPI pusat telah mendapatkan dua kali teguran dari kemendagri.
Hanya saja, kemendagri belum memastikan apakah aksi yang dilakukan di Balai Kota dilakukan oleh FPI pusat atau bukan. Jika memang dilakukan FPI pusat, maka kemendagri bisa memberikan teguran ketiga atau teguran terakhir.
"Kemendagri pernah memberikan teguran tertulis sebanyak dua kali. Pertama kasus Monas, kemudian pengrusakan kantor kemendagri. Jadi kami akan cek terlebih dahulu. Kalau iya, kami akan melakukan teguran terahir, yaitu tingkat tiga,” ujarnya.
Menurut Budi, dalam UU Nomor 17/ 2013, terdapat sejumlah tahapan penjatuhan sanksi terhadap sebuah ormas. Mulai dari teguran, penghentian kegiatan, hingga pencabutan surat keterangan terdaftar (SKT).
Artinya, jika ormas yang melakukan perbuatan anarkis terdaftar di kemendagri, maka sanksi menghentikan kegiatan dan mencabut SKT dilakukan oleh kemendagri setelah melawati proses di Mahkamah Agung.
"Prosesnya panjang, sehingga kami dalam tahap komunikasi dengan DKI. DKI bilang tidak tercatat (ormas FPI Jakarta). Lalu di Polda dikatakan terencana dan itu bisa disanksi pidana," jelasnya.