Selasa 16 Sep 2014 17:57 WIB

Mahfud MD: Pembangunan Hukum Bukan Membuat Materi Hukum Baru

Rep: Ira Sasmita/ Red: Djibril Muhammad
Mahfud MD
Foto: Antara
Mahfud MD

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD mengatakan, cetak biru pembangunan Indonesia di bidang hukum harus menguatkan lembaga penegak hukum untuk melaksanakan aturan hukum yang sudah ada. Bukan membuat materi hukum baru untuk menjawab persoalan yang muncul.

"Makanya, cetak biru itu jangan berpikir melulu membuat hukum baru. Jawabannya bukan itu (hukum baru), tapi orang, pelaksana aturan hukum itu," kata Mahfud dalam simposium 'Cetak Biru Indonesia Masa Depan dari KAHMI', di Auditorium Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (16/9).

Materi hukum baru, lanjut Mahfud, memang penting. Perkembangan zaman akan selalu menuntut munculnya norma hukum yang baru. Namun, membuat hukum baru karena kesalahan penyelenggara atau suatu persoalan muncul dinilai salah.

"Kata kuncinya, bagaimana melaksanakan hukum yang ada. Hukum dan aparatur negara," ujarnya.

Pelaksanaan hukum, lanjut Mahfud, bertujuan untuk mencapai tujuan negara. Yakni mencapai kesejahteraan bangsa dan negara. Yang ditandai dengan kecukupan ekonomi, terjaminnya kesehatan masyarakat, dan pendidikan layak bagi warga negara Indonesia.

Persoalannya, Presidium KAHMI itu menilai, di Indonesia, penegakan hukum untuk mencapai tujuan negara belum terjadi. "Kata nabi, hancurnya suatu bangsa karena hukum di negara itu tidak ditegakkan dengan benar. Ada orang kecil bersalah dihukum, ada orang besar bersalah dibebaskan. Ini yang sedang kita hadapi di negara ini," jelas Mahfud.

Padahal, menurutnya, Indonesia memiliki semua aspek untuk menjadi negara sejahtera. Indonesia memiliki kemantapan ideologi, soliditas sosial yang kuat, dan sumber daya alam yang kaya.

Tidak tercapainya tujuan negara, kata Mahfud, tidak terlepas dari lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Tidak hanya dalam penegakan hukum pidana biasa, namun yang paling berbahaya dalam penegakan hukum memberantas korupsi. Yang menggerogoti birokrasi dan pengadilan.

Mahfud mengatakan, 16 tahun setelah reformasi, korupsi terjadi di semua lini tanpa terkecuali. Meski telah berganti kepemimpinan dari BJ Habibie hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, korupsi di birokrasi tidak bisa diputus.

Selain di birokrasi, korupsi juga akut terjadi di lingkungan pengadilan. Cabang kedua, birokrasi di pengadilan. "Hakim ditangkap, jaksa ditangkap, ketua MK dihukum seumur hidup. Semua dikorupsi," ungkapnya.

Karena itu, Mahfud berpandangan, untuk melakukan perbaikan dalam penegakan hukum diperlukan upaya progresif dari pimpinan pemerintahan. Dibutuhkan pemimpin yang kuat, bersih, dan berani menjalankan kebijakan-kebijakan yang berani untuk memberantas korupsi di birokrasi dan pengadilan tersebut.

"Saya berharap sebulan ke depan kita punya pemimpin baru. Sekurang-kurangnya, dia harus berani membuat terobsan," ujar Mahfud.

Upaya jangka pendek yang bisa dilakukan, menurut Mahfud adalah memutus hubungan dengan kasus-kasus masa lalu. Karena upaya menguak kasus korupsi menurutnya selalu terhalang dan tersandera kasus-kasus masa lalu.

"Mau buka BLBI, nggak bisa, (diancam) entar buka kasus korupsi yang ini. Mau buka Century, nggak bisa  entar saya buka kasus yang itu," jelasnya.

Langkah jangka pendek kedua, menurut Mahfud, adalah dengan membuat UU Pembuktian Terbalik. Aturan ini menurutnya bisa mengungkap korupsi di birokrasi.

"Untuk mengatasi korupsi saya setuju dengan Ahok. Membuat uu pembuktian terbalik, di berbagai negara ada kok yang pakai aturan ini dan terbukti bisa menekan korupsi," ungkap Mahfud.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement