REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah bersama PT Pertamina (Persero) lebih memilih opsi pembatasan penyaluran bahan bakar minyak bersubsidi demi menjaga agar kuota 46 juta kl dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Perubahan 2014 tetap terjaga.
Opsi menaikkan harga BBM bersubsidi dengan asumsi konsumsi akan menurun sehingga berimplikasi pada amannya kuota, tidak dipilih.
Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi dan Pembangunan Firmanzah mengatakan opsi menaikkan harga tidak dipilih lantaran sejumlah alasan. Selain lantaran periode masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah memasuki detik-detik terakhir, kenaikkan harga kerap berujung pada melonjaknya inflasi.
Ujung-ujungnya, jumlah penduduk miskin akan mengalami peningkatan sebagaimana kenaikan harga BBM di tahun-tahun lalu. Pertambahan jumlah penduduk miskin, tentu harus diimbangi dengan tanggung jawab negara untuk membantu kelompok tersebut.
"Artinya juga perlu ada lagi pembahasan program-program yang bisa membantu mereka. Jadi, tidak fair menyesuaikan harga BBM tanpa memberikan bantuan kepada kelompok masyarakat miskin dan menengah ke bawah," ungkapnya di Bina Graha, Kompleks Istana Kepresidenan, Selasa (26/8)..
Kalau mendesain program itu, lanjutnya, berarti pemerintah perlu ke DPR. Padahal DPR sekarang sedang membahas RAPBN 2015. DPR periode sekarang pun akan berakhir akhir September nanti.
Firmanzah menyatakan, pemerintah menyadari bahwa kebijakan pembatasan penyaluran BBM bersubsidi bukanlah kebijakan yang populis. Namun jika ini tidak dilakukan, pemerintahan baru di bawah komando Joko Widodo dan Jusuf Kalla, akan kehabisan premium per November 2014.