Jumat 15 Aug 2014 13:41 WIB

Saksi Ahli: Empat Bentuk Tindakan KPU Pengaruhi Perolehan Suara Pilpres

Rep: C87/ Red: Didi Purwadi
Suasana pemungutan suara ulang Pilpres 2014 di TPS 05 Kelurahan Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, Sabtu (19/7).
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Suasana pemungutan suara ulang Pilpres 2014 di TPS 05 Kelurahan Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, Sabtu (19/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Saksi Ahli Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, Dwi Martono Ariyanto, mengatakan terdapat empat bentuk tindakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang mempengaruhi hasil perolehan suara Pilpres 2014.

Dwi Martono menyampaikan hal itu sebagai saksi ahli dalam sidang perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2014 di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Jumat (14/8). Dwi Martono merupakan mantan anggota KPU Kota Batu, Jawa Timur.

Empat tindakan tersebut, yakni, pertama, KPU tidak mampu menyampaikan informasi secara tertib dan terpercaya. Kedua, KPU tidak menjaga otoritas kelembagaan konstitusi.

Ketiga, KPU tidak mampu memahami dan menempatkan kedudukan otoritas KPU khususnya dalam tahapan pemilu. Keempat, KPU mencederai hak pilih warga negara.

“Hal itu membuka peluang pelanggaran secara terstruktur sistematis dan masif (TSM) yang melibatkan peserta pemilu dan pihak lain. Tujuannya memenangkan pilpres secara curang. Padahal, KPU mestinya menjadi benteng demokrasi dengan memperhatikan cara kerja yang terstruktur, sistemik dan terintegrasi,” kata Dwi Martono di ruang sidang pleno.

Contoh kerja yang tidak terstruktur, sistemik dan integritas, yakni tidak diaturnya secara terbahas tentang metodologi survey hitung cepat (quick count) dan jajak pendapat exit poll. Dengan diizinkannya survei quick count ketika pemungutan suara berlangsung, kerahasiaan suara terancam.

Lembaga survei mampu memprediksi hasil pemilu saat masih dilakukan pemungutan suara. Hal itu bisa saja disalahgunakan calon yang merasa kalah untuk menggiring warga melalui Daftar Pemilih Khusus Tambahan (DPKTb).

Dwi Martono menilai pemilu dikendalikan lembaga survei di mana kemenangan calon dirancang sedemikian rupa dengan batas tertentu secara ilmiah. Sementara, KPU tidak dapat menghadirkan informasi dengan segera sehingga hasil pemilu dirancang lembaga survey.

“Saya anggap pemilu ini didukung survei ilmiah, penyelenggara tidak memahami hasil survei ilmiah bisa dilakukan oleh peserta pemilu untuk mengubah hasil pemilu. Saya berharap sidang dapat memberikan keadilan substansif,” imbuhnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement