Jumat 13 Jun 2014 20:17 WIB

Risma 'Keukeuh' Dolly Mesti Ditutup

Rep: Rr Laeny Sulistyawati/ Red: Agung Sasongko
Lokalisasi prostitusi Dolly di Surabaya, Jawa Timur
Foto: reuters
Lokalisasi prostitusi Dolly di Surabaya, Jawa Timur

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA – Wali Kota Surabaya, Jawa Timur (Jatim), Tri Rismaharini menegaskan bahwa dirinya tetap menutup lokalisasi prostitusi Dolly karena anak-anak yang tinggal di sekitar lokalisasi tersebut berhak mendapat kesempatan yang sama dengan anak-anak lain.

Saat menerima Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) Indonesia, Dianto Bachriadi di balai kota, wali kota yang akrab disapa Risma ini menyerahkan beberapa berkas yang berisi data perdagangan manusia (traficking) dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dihimpun sejak 2012.

Selain itu data jumlah anak-anak di bawah umur yang terjaring razia akibat kedapatan menenggak minuman keras di beberapa kafe di Surabaya. Hasilnya, sebagian besar kasus tersebut berawal dari kawasan lokalisasi Dolly dan Jarak. Artinya, dia melanjutkan, para pelaku maupun anak-anak yang terjaring razia, setelah ditelurusi datanya ternyata tinggal di kawasan tersebut.

‘’Itu menunjukkan bahwa ada korelasi antara kondisi lingkungan tempat tinggal dengan kualitas hidup,’’ ujarnya disela-sela pemaparan, Jumat (13/6).

Risma mengaku, yang menjadi perhatian utamanya dalam mengambil kebijakan ini adalah nasib anak-anak yang tinggal di sekitar kompleks prostitusi terbesar di Asia Tenggara itu. Matanya terbuka ketika dia mengunjungi tempat itu dan ada anak-anak yang tinggal di Dolly memprotesnya karena mengapa Risma diam saja tidak memperhatikan nasib anak-anak di lokalisasi.

Anak itu memprotes bahwa seharusnya dia memiliki hak yang sama dengan anak-anak lain yang bisa belajar dengan tenang. Dari situ, Risma mengaku sadar bahwa bagaimanapun lokalisasi prostitusi Dolly harus ditutup. Terlebih ia pernah menemui nenek-nenek yang menjadi pekerja seks komersial (PSK) dan ternyata anak-anak tingkat sekolah dasar (SD) daan sekolah menengah pertama (SMP) pernah memakai jasa PSK nenek-nenek itu.

‘’Mereka berhak mendapat kesempatan yang sama dengan anak-anak lain. Mereka punya hak yang sama untuk meraih masa depan yang cerah,” ujar Risma.

Pemkot Surabaya, kata dia, juga tidak tutup mata dalam menjalankan program ini. Tentu, faktor ekonomi yang selama ini selalu dijadikan alasan itu sudah mendapat perhatian pihaknya. Di luar bantuan modal untuk para mucikari dan PSK, pihaknya juga sudah menyiapkan berbagai sarana infrastruktur guna mengganti sumber pendapatan dari profesi sebelumnya.

Langkah seperti ini sama dengan yang dilakukan pihaknya di bekas lokalisasi prostitusi Dupak Bangunsari. Selain memberikan kompensasi, pihaknya juga memberikan pelatihan hingga ikut mempromosikan produk-produk masyarakat terdampak lokalisasi. Dengan demikian, PSK, mucikari, dan warga terdampak bisa tetap mendapatkan nafkah tiap bulan dari lapangan kerja baru.

“Kami tidak akan lari dari tanggung jawab menjamin ekonomi warga. Di Lingkungan Pondok Sosial (Liponsos) Keputih, 1.200 penderita orang gila yang 95 persen bukan orang Surabaya saja dirawat oleh pemkot. Masak, rehabilitasi Dolly ini saya lepas tangan,” ujarnya.

Risma juga membantah tudingan bahwa dia tidak pernah menjalin komunikasi langsung dengan warga lokalisasi. Dijelaskannya, komunikasi sudah terjalin sejak  tahun 2010 lalu. Selain itu ia juga pernah mengundang para PSK dan mucikari buka bersama saat bulan Ramadan.

Dia pun sempat diam-diam turun ke lokalisasi khusus untuk memantau kondisi anak-anak yang sekolah di sekitar sana. Namun, khusus untuk saat ini Risma mengaku tidak bisa masuk karena pertimbangan situasi yang kurang kondusif. Menurutnya, situasi sudah banyak berubah karena ada oknum-oknum yang mencoba menghalangi dan menghasut warga sekitar. Sehingga, pihaknya tidak bisa menembus Dolly.

“Kalau begini, mana HAM yang kami langgar? Apakah berupaya untuk kehidupan yang lebih baik itu dikatakan melanggar HAM? Lantas bagaimana dengan hak-hak anak akan lingkungan tumbuh kembang yang baik di sekitar lokalisasi,” tanya Risma.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement