Senin 03 Sep 2018 12:39 WIB

PN Surabaya Tolak Gugatan Atas Penutupan Lokalisasi Dolly

Gugatan class action sebelumnya ditujukan kepada Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini.

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Andri Saubani
Warga eks lokalisasi Dolly yang menamakan diri Forum Komunikasi Warga Jarak-Dolly (Forkaji) dan Gerakan Umat Islam Bersatu Jawa Timur (GUIB Jatim) kembali menggelar aksi di Kantor Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Senin (3/8). Aksi tersebut merupakan reaksi atas gugatan class action yang dilayangkan Komunitas Pemuda Independen (KOPI) dan Front Pekerja Lokalisasi (FPL) ke PN Surabaya, atas penutupan lokalisasi Dolly.
Foto: Republika/Dadang Kurnia
Warga eks lokalisasi Dolly yang menamakan diri Forum Komunikasi Warga Jarak-Dolly (Forkaji) dan Gerakan Umat Islam Bersatu Jawa Timur (GUIB Jatim) kembali menggelar aksi di Kantor Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Senin (3/8). Aksi tersebut merupakan reaksi atas gugatan class action yang dilayangkan Komunitas Pemuda Independen (KOPI) dan Front Pekerja Lokalisasi (FPL) ke PN Surabaya, atas penutupan lokalisasi Dolly.

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya menolak gugatan class action yang dilayangkan Komunitas Pemuda Independen (KOPI) dan Front Pekerja Lokalisasi (FPL) ke PN Surabaya, atas penutupan lokalisasi Dolly. Class action itu ditujukan terhadap Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini dan Kasatpol PP Surabaya Irvan Widyanto.

Penggugat yang mengklaim mewakili warga Dolly dan Jarak di Putat Jaya, Kecamatan Sawahan itu, mengajukan gugatan lebih Rp 270 miliar. Angka itu berdasarkan penghasilan warga yang hilang akibat penutupan lokalisasi sejak Juni 2014. Mereka terdiri dari perwakilan pedagang kaki lima, juru parkir, SPG, pekerja operatordan lain-lainnya.

Namun, menurut Ketua Majelis Hakim Dwi Winarko, gugatan class action yang dilayangkan para penggugat tidak memenuhi syarat. Maka dari itu, kata dia, materi gugatan yang diajukan para penggugat tidak bisa dipertimbangkan lagi karena tidak sah dan bahkan tidak memenuhi syarat.

"Gugatan para penggugat tidak memenuhi persyaratan class action. Oleh karenanya gugatan para penggugat harus dinyatakan tidak sah sebagai gugatan class action," ujar Dwi dalam persidangan yang digelar di PN Surabaya, Senin (3/8).

Majelis hakim menegaskan, berdasarkan dalil yang dikemukakan para penggugat, mereka mengaku sebagai korban atas kebijakan pemerintah, dalam hal ini Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini. Jika demikian, kata Dwi, semestinya para penggugat membawa kasus tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), bukan ke Pengadilan Negeri.

"Megingat dalam gugatannya penggugat berdalil, para penggugat adalah korban atas kebijakan pemerintah dalam melakukan penutupan lokalisasi Jarak-Dolly, seharusnya gugatan terhadap tergugat diajukan ke pengadilan tata usaha negara. Karena ini konflik kepentingan antara pemerintah dan masyarakat, dimana dirasa ada kerugian bagi masyarakat," ujar Dwi.

Baca juga: Penutupan Dolly Digugat, Forkaji Curigai Investor Lokalisasi

photo
Warga dengan menggunakan sepeda motor melintas di sekitar kawasan eks lokalisasi Dolly, Surabaya, Jawa Timur, Senin (6/11).

Penasihat hukum para penggugat, Nain Suryono merasa keberatan dengan pertimbangan majelis hakim, yang bahkan menurutnya tidak logis. Terutama, terkait keputusan majelis hakin yang menyatakan, gugatan class action yang dilayangkan para penggugat tidak memenuhi persyaratan sesuai Peraturan MA nomor 1 Tahun 2002 tentang class action.

"Pertimbangan hukum yang dikeluarkan majelis hakim itu tidak benar. Sebenarnya gugatan kita sudah memenuhi syarat class action. Di dalam alasan-alasan gugatan sudah dicantumkan tentang legal standing, tentang kelompok-kelompok dalam hal ini warga Jarak-Dolly yang terdampak dengan adanya kebijakan yang dikeluarkan Wali Kota Surabaya," kata Nain.

Menurut Nain, seharusnya majelis hakim mempelajari hak ekonomi masyarakat terdampak kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah Surabaya. Di mana menurutnya banyak masyarakat yang dirugikan dan bahkan dirampas hak-hak ekonominya akibat penutupan lokalisasi Dolly.

Nain mengaku, pihaknya tidak keberatan dengan kebijakan pemerintah untuk menurut lokalisasi Dolly. Tetapi, kata dia, negara punya kewajiban untuk melindungi hak-hak ekonomi warga yang terdampak.

"Ya dibiarkanlah warga yang jualan-jualan di sekitar mestinya dibiarkan malah harusnya didorong. Tetapi pemerintah membabi-buta seluruh hak ekonominya tidak diberikan," ujar Nain.

Nain juga keberatan dengan putusan majelis hakim yang menyatakan, perkara tersebut seharysnya dibawa ke PTUN. Itu tak lain karena perkara tersebut sudah tidak bisa lagi dibawa ke PTUN. Di mana dalam Undang-Undang, perkara yang dibawa ke PTUN masuk maksimal setelah 90 hari dikeluarkannya kebijakan.

"Dalam kebijakan itu harus 90 hari. Kalau dihitung 90 hari jelas ini nggak mungkin. Wong kebijakan itu kan dikeluarkan pada tahun 2014. Maka tidak sesuai dengan tenggang waktu," ujar Nain.

Maka dari itu, Nain menyatakan, pihaknya akan mempelajari dulu terkait putusan majelis hakim dalam perkara tersebut. Jika memang perkara tersebut bisa dilanjutkan dengan memperbaiki berkas, maka pihaknya akan segera memperbaikinya. Nakun jika syarat-syarat sudah terpenuhi, maka pihaknya akan mengajukan kasasi.

"Kita akan melihat dulu pertimbangan hukumnya. Kalau tadi dikatakan ada hal yang kurang itu akan kita perbaiki. Tapi kalau kita sudah memenuhi syarat itu kita akan mengajukan upaya hukum kasasi," kata Nain.

Kuasa Hukum dari Pemerintah Kota Surabaya, Muhammad Fajar Hanani menilai, keputusan majelis hakim yang menolak gugatan tersebut sudah sangat tepat. Itu tak lain karena menurutnya gugatan yang dilayangkan memang tidak sesuai Peraturan MA Nomor 1 Tahun 2002 tentang Class Action.

"Keputusan hakim sudah tepat karena memang gugatan yang dilayangkan tidak memenuhi syarat-syarat sesuai PerMA nomor 1 tahun 2002 tentang class action," ujar Fajar.

Fajar menyatakan, untuk saat ini dirinya akan melaporkan terkait putusan persidangan kepada pihak tergugat. Namun, jika nantinya pihak penggugat melakukan upaya hukum lain, pihaknya tetap siap. "Kita tetap siap, kita hadapi (kalau ada upaya hukum lain)" kata Fajar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement