Kamis 12 Jun 2014 01:50 WIB

Petani Kalimantan Idap Tumor Ganas Terkatung-katung di Jakarta

Rep: C54/ Red: Yudha Manggala P Putra
Jenihin (28) petani miskin penderita tumor usus asal pedalaman Kapuas Hulu, Kalimantan Barat terkatung-katung di Rumah sakit Dharmais, Jakarta Barat, Ahad (8/6).
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Jenihin (28) petani miskin penderita tumor usus asal pedalaman Kapuas Hulu, Kalimantan Barat terkatung-katung di Rumah sakit Dharmais, Jakarta Barat, Ahad (8/6).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sudah empat hari Jenihin (28), petani miskin penderita tumor ganas asal pedalaman Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, terkatung-katung di Jakarta. Rumah Sakit Kanker Dharmais, Slipi, Jakarta Barat, tempat Jenihin dirujuk berkukuh menolak memberikan fasilitas rawat inap. Pihak RS Dharmais beralasan, kondisi pasien masih stabil, selain itu, semua kamar rawat telah terisi penuh.

Ibu, Istri dan sejumlah kerabat Jenihin yang tidak puas terhadap pelayanan RS Dharmais mengadukan kasus tersebut kepada kalangan media massa. Sandhy, kawan pasien, menuding pelayanan bagi Jenihin berbelit-belit karena si sakit mendaftar dengan asuransi Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) kelas 2, yakni jalur layanan untuk masyarakat miskin.

“Sudah kebiasaan mereka. Kalau begini caranya kami akan melaporkan ke Komnas HAM,” ujar Sandhy, dihubungi melalui ponselnya, Rabu (11/6).

Berbekal ongkos sekadarnya hasil patungan keluarga dan kawan-kawannya, Jenihin berangkat ke Jakarta Sabtu (7/6). Sedianya, keluarga yang mendampingi akan membawa Jenihin ke RS Dharmais hari Senin (9/8) karena paham bahwa loket BPJS tidak buka pada hari Ahad. Tapi karena kondisinya memburuk, yakni Jenihin terus-terusan muntah, Ahad (8/9) siang, keluarga membawa pemuda kurus itu ke RS Dharmais.

Uki, kerabat yang lain menceritakan, setibanya di RS Dharmais Jenihin langsung dilarikan ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) karena kondisinya yang sangat lemah. Tadinya keluarga berharap, Jenihin bisa dapat segera mendapat kamar inap, sementara mereka berencana mengurus administrasi BPJS Senin keesokan harinya.

Namun ternyata dr. Lady Pranodia, dokter jaga yang memeriksa Jenihin menyatakan bahwa kondisi dia masih stabil dan tidak perlu dirawat inap. Padahal menurut Uki, oleh sejumlah dokter di Pontianak, Kalbar, Jenihin didiagnosa mengidap tumor akut pada usus, bahkan pernah mendapat operasi pengangkatan usus beberapa bulan yang lalu.

Saat Republika mengunjungi langsung Ahad (8/6) malam kemarin, Jenihin terbaring lemah di sudut ruang IGD. Dia hanya mampu menganggukkan kepala ketika disapa, sementara raut wajahnya meringis menahan sakit di perutnya. Meski pihak keluarga memohon agar sementara waktu pasien diberi kamar, sang dokter tetap menolak. “Dia malah menyarankan kami mengontrak kamar di belakang rumah sakit,” ujar Uki.

Sandhy, kerabat Jenihin melanjutkan, karena tidak punya uang, dengan sedikit memaksa, keluarga memohon agar Jenihin yang masih kesakitan malam itu diizinkan menginap di IGD. Keesokan paginya, meski telah mengurus administrasi BPJS, ternyata belum juga ada kepastian kapan Jenihin bisa mendapatkan kamar. “Katanya dia (Jenihin) harus menjalani pemeriksaan MSCT Scan, kami lalu disarankan untuk kembali besok (Selasa),” tutur Sandhy.

Sejak Selasa hingga Rabu, alih-alih mendapatkan kepastian dirawat inap, Jenihin bahkan gagal kesulitan mendapat pemeriksaan scan yang dijanjikan dengan alasan harus mengantre. Selama empat hari terakhir, Jenihin ditampung di kantor sebuah organisasi sosial di daerah Rawamangun, Jakarta Utara. Alhasil, selama itu juga Jenihin yang semakin ringkih dan terus meringis sakit harus bolak-balik Rawamangun-Slipi yang jaraknya lumayan jauh dan menguras bekal keluarga yang semakin menipis.

Ketika dikonfirmasi, pimpinan humas RS Dharmais Edward Halimi menyangkal pihaknya menelantarkan pasien Jenihin. Menurut Erward, semua sudah sesuai prosedur, termasuk diagnosa dokter atas pasien yang tidak perlu dirawat inap. Edward menjelaskan, tidak adanya kamar untuk Jenihin terjadi karena terbatasnya ruangan yang tersedia.

“Bisa dibayangkan, kami hanya punya 387 kamar. Sementara ratusan orang mengantre. Kami ini kan rumah sakit rujukan se-Indonesia,” ujar Edward, dijumpai di kantornya, Rabu (11/6).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement