Sabtu 14 Jun 2014 02:00 WIB

RS Dharmais Tetap tak Mau Rawat Jenihin, Penderita Tumor Ganas

Rep: C54/ Red: Julkifli Marbun
Jenihin
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Jenihin

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hampir sepekan, Jenihin (28), petani miskin pengidap tumor usus ganas asal pedalaman Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, terlunta-lunta di Jakarta. RS Kanker Dharmais, Jakarta Barat, tempat dia dirujuk tetap bersikeras tak bisa memberikan layanan rawat inap. Alasan yang mereka kemukakan tetap sama sejak sepekan lalu, yakni tidak ada lagi ruangan yang tersisa.

Padahal, sejak memohon penanganan kepada RS Dharmais Ahad (8/6) lalu, kondisi Jenihin semakin memburuk. Dia sudah tak sanggup lagi makan, begitupun buang air besar karena penyempitan usus. Pihak keluarga menuding, lambannya penanganan terhadap Jenihin dikarenakan si pasien mendaftar melalui jalur asuransi Badan Pelaksanan Jaminan Sosial (BPJS) kelas 2, yang notabene berasal dari kalangan tidak mampu.

Sandhy, kerabat korban yang mengadu kepada pihak media massa menceritakan, baru hari ini, Jumat (14/6), Jenihin mendapat giliran pemeriksaan dokter spesialis. Seperti dugaan keluarga dan rekan-rekannya, hasil pemeriksaan menunjukan tumor Jenihin sudah sangat parah. “dr. Ajoedi, petugas yang memeriksa Jenihin menyarankan agar dia segera dirawat dan mendapat penanganan intensif,” ujar Sandhy, menghubungi melalui ponselnya, Jumat (14/6).

Padahal menurut Sandhy, tanpa perlu bertele-tele, Jenihin sudah jelas-jelas mengidap tumor ganas, seperti didiagnosa dokter di Pontianak, tempat Jenihin berobat sebelumnya. “Dia sudah pernah dioperasi dua kali, bahkan satu kali dipotong usus pangkal tumornya,” kata dia.

Meski mendapat rekomendasi dokter setempat, RS Dharmais ternyata tetap menyatakan bahwa Jenihin tidak bisa dirawat. Menurut petugas pengelola kamar, semua ruangan sudah terisi. “Bahkan mereka tidak memberikan kepastian kapan dia (Jenihin) bisa dirawat. Katanya dia harus menunggu antrean,” ujar Sandhy dengan nada kesal. 

Melihat kondisi si sakit yang semakin kritis, pihak keluarga dan kerabat akhirnya memutuskan melarikan Jenihin ke RS Medi Rose, Jakarta Timur. “Dia (Jenihin) langsung kami larikan ke UGD. Kesimpulan dokter di sana sama, kondisi dia parah, jadi dia langsung ditempatkan di ruang isolasi agar terhindar dari penyakit baru,” tutur Sandhy.

Sandhy menceritakan, di RS baru tersebut, Jenihin didaftarkan melalui jalur umum agar mendapatkan prioritas. Menurut Sandhy, kini keluarga dan kerabat sedang menggalang dana untuk membayar pengobatan di RS swasta tersebut. Sandhy berharap, RS Dharmais bisa segera memberikan pelayanan untuk Jenihin, karena dengan statusnya sebagai RS pemerintah, biaya menjadi ringan dengan mekanisme asuransi BPJS.

Ketika dikonfirmasi Rabu (11/6) lalu, pimpinan humas RS Dharmais Edward Halimi membenarkan bahwa ruang rawat yang mereka miliki sangat terbatas. Edward menjelaskan, mereka hanya memiliki 387 kamar, mencakup kelas 3 hingga VVIP. “Pasien yang menddaftar ke kami tiap hari mengantre, bahkan sejak subuh. Kami ingin memperlakukan semuanya sama. Semua harus mengantre,” ujar Edward, dijumpai di kantornya.

Sandhy berpendapat, selain menyangkut RS Dharmais, problem juga berkenaan dengan mekanisme asuransi BPJS. “Meski menggunakan BPJS, rakyat miskin tetaplah rakyat miskin. Tetap dianak tirikan,” ujar dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement