REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Rektor Universitas Udayana (Unud) Denpasar Prof Dr Ketut Suastika menganggap bahwa berdirinya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial bidang kesehatan bisa menjadi momentum atas kebangkitan penelitian di bidang farmakoekonomi.
"Peran farmakoekonomi sangat penting dalam upaya mencari sistem pengobatan yang efisien, mulai dari diagnostik, penanganan pasien, hingga penggunaan obat dengan harga terjangkau," katanya seusai membuka Konferensi "International Society for Pharmacoeconomics Outcome Research" (ISPOR) di Sanur, Denpasar, Bali, Minggu malam.
Dengan adanya BPJS, jelas dia maka dokter tidak boleh sembarangan memberikan obat-obatan kepada pasien hanya untuk meraih keuntungan pribadi.
"BPJS itu ada hitung-hitungannya. Di mana pun negara di dunia ini memiliki anggaran yang terbatas di bidang kesehatan. Amerika Serikat saja menghadapi masalah anggaran kesehatan," ujarnya.
Oleh sebab itu, menurut dia, Indonesia butuh banyak tenaga ahli di bidang farmakoekonomi sehingga masalah obat-obatan dengan harga terjangkau bisa terpecahkan.
Namun, sayangnya sejauh ini tenaga ahli farmakoekonomi di Indonesia masih sangat terbatas. "Ahli farmakoekonomi sangat sedikit. Kalah jauh dengan Thailand, Malaysia, dan Singapura. Padahal puluhan tahun silam mereka belajar farmasi kepada kita. Sekarang mereka maju pesat," ucapnya, prihatin.
Ia mengungkapkan bahwa untuk menangani pasien tertentu, seperti diabetes membutuhkan petunjuk (guadlines) berisi prinsip-prinsip pengobatan yang ekonomis, efisien, dan tepat guna.
"Kenyataannya sering kali kita menggunakan 'guadlines' dari luar negeri karena kita memang tidak punya. Padahal 'guadlines' dari luar negeri itu belum tentu cocok diterapkan di Indonesia. Hal ini juga menjadi penting bagi farmakoekonomi," tuturnya.
Oleh sebab itu, selama pemerintah belum bisa memberikan perhatian yang maksimal atas keberlangsungan penelitian di bidang farmakoekonomi, Suastika berharap pemerintah lebih banyak mengeluarkan kebijakan penggunaan obat generik.
"Obat generik harus diperbanyak agar masyarakat tidak terbebani dengan membeli obat paten yang harganya 10 kali lipat dari obat generik," kata mantan Dekan Fakultas Kedokteran Unud.
Suastika kemudian mencontohkan pemerintah Australia yang melibatkan ahli farmakoekonomi dalam mengambil kebijakan tentang subsidi obat-obatan sejak 1993.
"Kebijakan itu kemudian ditiru oleh negara-negara maju, seperti Kanada, Finlandia, Selandia Baru, Norwegia, Swedia, dan Inggris," ujarnya, menambahkan.
Konferensi ISPOR di Denpasar pada 24-27 Mei 2014 itu diikuti oleh utusan dari berbagai negara, di antaranya Kanada, Australia, Malaysia, Singapura, dan tuan rumah Indonesia.