REPUBLIKA.CO.ID, PEKANBARU -- Anggota Komisi A Bidang Hukum DPRD Provinsi Riau Tony Hidayat meminta agar media massa tidak mengeksploitasi bocah korban kejahatan seks di Kota Pekanbaru karena dikhawatirkan bakal menambah derita bagi korban dan keluarga mereka.
"Wartawan harus berpegang pada kode etik dalam memberitakan korban kejahatan seks, apalagi korbannya anak-anak. Jangan karena kepentingan bisnis, korban kesannya jadi dieksploitasi," kata Tony Hidayat kepada Antara di Pekanbaru, Selasa.
Tony mengaku menyayangkan adanya pemberitaan dari sejumlah media di Pekanbaru yang menjabarkan detil dari alamat korban, karena hal itu dalam kode etik jurnalistik seharusnya dikaburkan demi melindungi korban.
Politisi Partai Demokrat ini mengutarakan hal itu terkait terungkapnya kasus kejahatan seksual dengan tiga tersangka yang masih saudara kandung. Para tersangka antara lain berinisial Ai (18), Ro (15), dan At (9).
Polisi mengidentifikasi sedikitnya ada enam korban kejahatan seks yang merupakan tetangga pelaku dan tinggal dalam satu kawasan rumah petak kontrakan di Kecamatan Tampan, Pekanbaru.
Dua korban adalah bocah laki-laki, dan sisanya perempuan yang semuanya berumur berkisar 3-10 tahun.
"Nama dan wajah korban, orangtua, alamat rumah hingga sekolahnya, seharusnya dikaburkan. Kalau itu terlalu diekspos, maka akan menambah derita korban karena belum tentu mereka siap diketahui publik bahwa mereka jadi korban kejahatan seks," tegas Tony.
Menurut dia, jurnalis seharusnya lebih fokus pada penanganan kasus dengan narasumber kepolisian atau melalui pendapat dinas sosial, komisi perlindungan anak, psikolog dan pengamat kriminal.
Selain itu, ia mengatakan yang perlu diperhatikan adalah melindungi korban kejahatan seks agar mereka bisa sembuh dari trauma mendalam dan menghilangkan kemungkinan korban menjadi "predator" seks di masa depan.
Sementara itu, Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Riau Yusril Ardanis menyatakan, melindungi anak di bawah umur yang menjadi korban kejahatan tidak cukup hanya dengan mengaburkan wajah dan suara.
Sebab, menampilkan visualisasi tempat kejadian perkara (TKP) sesungguhnya justru paling rawan.
Intinya, menyamarkan wajah, suara, nama, alamat rumah, alamat sekolah, tidak ada artinya jika jurnalis tetap mengambil visual TKP yang identik atau gampang dikenali oleh orang lain dilingkungan sekitar korban.
"Pemberitaan yang melindungi anak di bawah umur korban kejahatan pada prinsipnya adalah melindungi identitas korban dari lingkungan terdekatnya," tegas Yusril.
Menurut dia, selama ini cukup banyak media massa terutama televisi justru banyak yang salah kaprah karena maksud awal ingin melindungi anak tapi malah mengekspos korban.
Ia mengatakan, ketika wartawan terutama jurnalis TV dan foto datang ke TKP, maka warga akan bertanya-tanya dan identitas korban terbongkar kepada warga yang sebelumnya tidak tahu.
"Sedemikian pentingnya melindungi anak, masa depan korban juga tergantung dari pemahaman kita sebagai jurnalis," katanya.